EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKorean ArabicChinese Simplified
Choose Your Language

Minggu, 30 Desember 2012

Sudah Ada Merajan kok Dirikan Kamar Suci ?


Pertanyaan :
Belakangan ada kecenderungan, meski sudah mempunyai sanggah atau merajan umat hindu juga membuat “kamar suci”. Gejala apakah ini dan mengapa tidak memaksimalkan saja fungsi sanggah atau merajan yang sudah ada ?

         I Made Suradwipa
                                                                                                                                                 Pedankelan – Sanur Kauh

Jawaban :
Ada beberapa perubahan perilaku keagamaan yang belakangan menggejala di kalangan umat Hindu di antaranya yang berkaitan dengan aspek intelektual, seremonial, ritual dan spiritual. Dari aspek intelektual , tradisi untuk menerima tetamianyang bersifat “gugon tuwon” sudah mulai dikikis. Contoh terbaru adalah munculnya usulan kaum kristisi Hindu untuk membatalkan keputusan “Sabha Pandita” yang menyangkut kewenangan “Muput Karya” di Pura Besakih
Dari aspek ceremonial, umat hindu cenderung lebih memperlihatkan segi segi upacara yadnya dari sisi kemeriahan, kesemarakan dan kebesaran material. Asal upacara yadnya sudah meriah , semarak dan menghabiskan dana yang besar ada anggapan “karya persembahan” tersebut dinilai sukses meski belum tentu  “Sidhaning Don”. Dari aspek ritual gejala yang semakin tampak adalah selain menampilkan sisi seremonialnya juga terkesan “ritual oriented”. Artinya seakan akan hidup berkeagamaan itu hanya selesai sebatas ritual saja . Sementara realisasinya ritual ke demensi moral dan social kurang begitu menggejala. Dan terakhir dari aspek spiritual kecenderungan baru yang muncul adalah munculnya individu atau kelompok kelompok umat yang berupaya menempuh  “jalan sendiri” dalam kerangka hakikat hidup, menemukan jalan Tuhan , meningkatkan pemahaman dan penghayatan  agama yang tentunya menguatkan sradha dan bhakti. Praktiknya antara lain, mengikuti kegiatan kerohanian melalui aliran aliran kepercayaan , kelompok spiritual, grup studi keagamaan, ashram dll.
Tanpa bermaksud dikhotomi salah benar, baik buruk, patut tan patut, apapun perubahannya yang terjadi dan sedang dialamin oleh umat hindu asal  ke semuanya di arahkan untuk tujuan meningkatkan sradha dan bhakti tidaklah merupakan masalah. Termasuk kecenderungan sebagaian kecil umat Hindu yang belakangan gandrung membuat kamar suci  meskipun sudah memiliki sanggah atau pun merajan.
Gejala ini agaknya dapat di pandang sebagai suatu bentuk pencarian dan atau pendakian spiritual yang boleh jadi belum terpuaskan melalui media sanggah atau pun merajan. Sebab harus diakui, dalam pandangan traditional, sanggah / merajan itu lebih berfungsi atau di fungsikan dalam skup terbatas sebagai tempat “maturan” atau lebih jauh lagi sebagai tempat  “muspa” . Sementara sisi pembinaan spiritual harus dilakukan sendiri sendiri antara lain di lakukan dengan ikut dalam kegiatan keagamaan melalui kelompok atau grup kerohanian.
Dari proses pembelajaran diri itu mereka menyadari bahwa ternyata beragama itu tidak selesai pada aspek ritual, seremonial atau intelektual saja, tetapi sisi spiritualnya harus pula di penuhi atau di puaskan. Dalam pencarian itulah mereka diantaranya membuat ruang ruang rohani atau kamar-kamar spiritual yang popular disebut sebagai kamar suci yang cenderung bersifat individual dimana umat dengan ilmu agama yang didapat, kemampuan bathin yang dimiliki dalam melakukan kegiatan sembah bhakti mulai dari Tri Sandya, berjapa ataupun meditasi dengan kidmat. Khusuk guna lebih memantapkan kedekatannya pada Tuhan.
                                                                                         
Di kutip dari jawaban I Gusti Ketut Widana


source:  deyudi

Dewata Nawa Sanga

Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 

ERSANYA / TIMUR LAUT 

dewa sambhu
Urip : 6; 
Dewa : Sambu; 
Sakti : Maha Dewi; 
Senjata : Trisula; 
Warna : Biru; 
Aksara : Wa; 
Bhuwana Alit : Ineban; 
Tunggangannya : Wilmana; 
Bhuta : Pelung; 
Tastra : Pa dan Ja; 
Sabda : Mang mang; 
Wuku : Kulantir, Kuningan, Medangkungan, Kelawu; 
Caturwara : Sri; 
Sadwara : Urukung; 
Saptawara : Sukra; 
Astawara : Sri; 
Sangawara : Tulus; 
Dasawara : Sri; 
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem 
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta; 
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah. 

PURWA / TIMUR 

dewa Iswara
Urip : 5; 
Dewa : Iswara; 
Sakti : Uma Dewi; 
Senjata : Bajra; 
Warna : Putih; 
Aksara : Sa (Sadyojata)
Bhuwana Alit : Pepusuh; 
Tunggangannya : Gajah; 
Bhuta : Jangkitan; 
Tastra : A dan Na; 
Sabda : Ngong ngong; 
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut; 
Dwiwara : Menga; 
Pancawara : Umanis; 
Sadwara : Aryang; 
Saptawara : Redite; 
Astawara : Indra; 
Sangawara : Dangu; 
Dasawara : Pandita; 
Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti; 
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha. 

GENYA / TENGGARA 

dewa mahesora
Urip : 8; 
Dewa : Mahesora; 
Sakti : Laksmi Dewa; 
Senjata : Dupa; 
Warna : Dadu/Merah Muda; 
Aksara : Na; 
Bhuwana Alit ; Peparu; 
Tunggangannya : Macan; 
Bhuta : Dadu; 
Tastra : Ca dan Ra; 
Sabda : Bang bang; 
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung; 
Caturwara : Mandala; 
Sadwara : Paniron; 
Saptawara : Wraspati; 
Astawara : Guru; 
Sangawara : Jangu; 
Dasawara : Raja; 
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah terletak di Kabupaten Klungkung 
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda; 
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah. 

DAKSINA / SELATAN 

dewa brahma
Urip : 9; 
Dewa : Brahma; 
Sakti: Saraswati Dewi; 
Senjata : Gada / Danda; 
Warna : Merah; 
Aksara : Ba (Bamadewa)
Bhuwana Alit : Hati; 
Tunggangannya : Angsa; 
Bhuta : Langkir; 
Tastra : Ka dan Da; 
Sabda : Ang ang; 
Wuku : Wariga, Pujut, Menail; 
Triwara : Pasah; 
Pancawara : Paing; 
Sadwara : Was; 
Saptawara : Saniscara; 
Astawara : Yama; 
Sangawara : Gigis; 
Dasawara : Desa; 
Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa terletak di Kabupaten Karangasem 
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu; 
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha. 

NORITYA / BARAT DAYA 

dewa Rudra
Urip : 3; 
Dewa : Rudra; 
Sakti : Santani Dewi; 
Senjata : Moksala; 
Warna : Jingga; 
Aksara : Ma; 
Bhuwana Alit : Usus; 
Tunggangannya : Kebo; 
Bhuta : Jingga; 
Tastra : Ta Dan Sa; 
Sabda : Ngi ngi; 
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat; 
Caturwara : Laba; 
Sadwara : Maulu; 
Saptawara : Anggara; 
Astawara : Ludra; 
Sangawara : Nohan; 
Dasawara : Manusa 
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu terletak di Kabupaten Badung 
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus; 

Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha. 

PASCIMA / BARAT 

dewa Mahadewa
Urip : 7; 
Dewa : Mahadewa; 
Sakti : Saci Dewi; 
Senjata : Nagapasa; 
Warna : Kuning; 
Aksara : Ta (Tat Purusa)
Bhuwana Alit : Ungsilan; 
Tunggangannya : Naga; 
Bhuta : Lembu Kanya; 
Tastra : Wa dan La; 
Sabda : Ring ring; 
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala; 
Triwara : Kajeng; 
Pancawara : Pon; 
Sadwara : Tungleh; 
Saptawara : Buda; 
Astawara : Brahma; 
Sangawara : Ogan; 
Dasawara : Pati; 
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru terletak di Kabupaten Tabanan 
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini; 
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha. 

WAYABYA / BARAT LAUT 

dewa Sangkara
Urip : 1; 
Dewa : Sangkara; 
Sakti : Rodri Dewi; 
Senjata : Angkus /Duaja; 
Warna : Wilis / Hijau; 
Aksara : Si; 
Bhuwana Alit : Limpa; 
Tunggangannya : Singa; 
Bhuta : Gadang/Hijau; 
Tastra : Ma dan Ga; 
Sabda : Eng eng; 
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu; 
Ekawara : Luang; 
Caturwara : Jaya; 
Astawara : Kala; 
Sangawara : Erangan; 
Dasawara : Raksasa; 
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu terletak di Kabupaten Badung 
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning; 
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha. 

UTTARA / UTARA 

dewa Wisnu
Urip : 4; 
Dewa : Wisnu; 
Sakti : Sri Dewi; 
Senjata : Cakra; 
Warna : Ireng / Hitam; 
Aksara : A (Aghora)
Bhuwana Alit : Ampru; 
Tunggangannya : Garuda; 
Bhuta : Taruna; 
Tastra : Ba dan Nga; 
Sabda : Ung; 
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang; 
Dwiwara : Pepet; 
Triwara : Beteng; 
Pancawara : Wage; 
Saptawara : Soma; 
Astawara : Uma; 
Sangawara : Urungan; 
Dasawara : Duka; 
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Ulundanu terletak di Kabupaten Bangli 
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra; 
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha. 

MADYA / TENGAH 

dewa Siwa
Urip : 8; 
Dewa : Siwa; 
Sakti : Uma Dewi (Parwati); 
Senjata : Padma; 
Warna : Panca Warna brumbun; 
Aksara : I (Isana) dan Ya; 
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati; 
Tunggangannya : Lembu; 
Bhuta : Tiga Sakti; 
Tastra : Ya dan Nya; 
Sabda : Ong; 
Saptawara : Kliwon; 
Sangawara : Dadi; 
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem 
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta; 
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha. 

Kenapa Orang Hindu Menghormati Sapi

Melihat banyaknya arca-arca sapi di tempat suci Hindu baik yang ditemukan di situs purbakala maupun di tempat-tempat suci yang masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan mengundang sebuah anggapan salah kaprah terhadap Hindu. Orang sebagian besar orang, Hindu identik dengan penyembah sapi. Apa lagi pada kenyataannya sebagian besar umat Hindu di dunia berpantang untuk mengkonsumsi daging sapi. Benarkah Hindu memuja Sapi?
Berdasarkan peradaban Veda, sapi memang merupakan binatang yang sangat di sakralkan. Diuraikan bahwa sapi merupakan lambang dari ibu pertiwi yang memberikan kesejahtrean kepada semua makhluk hidup di bumi ini. Karena itulah para umat manusia diajarkan untuk tidak menyemblih dan memakan daging sapi. Selain mempunyai manfaat di dalam kehidupan rohani, sapi juga memelihara kita di dalam kehidupan material kita seperti misalnya dengan memberikan susu sapi dan berbagai produk susu. Selain susu dan berbagai produk, sapi juga memberikan berbagai jenis bahan obat-obatan seperti misalnya kencing sapi dan tahi sapi yang bahkan ilmuwan modern sekalipun menerima bahwa air kencing sapi dan kotoran sapi mengandung zat anti septik yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Di India, didalam sistem pengobatan Ayur Veda, terdapat teknik yang di sebut pengobatan panca gavya. Panca gavya adalah lima jenis produk yang di hasilkan oleh sapi yaitu; susu, yogurt, ghee, kencing sapi dan kotoran sapi. Panca gavya ini diangap sebagai bahan bahan yang menyucikan. Bahkan di dalam yajna dan memandikan pratima di berbagai kuil, bahan bahan ini sangat diperlukan. Tanpa panca gavya, seseorang tidak bisa menginstalasi pratima di dalam kuil.  Selain bahan bahan yang bisa di komsumsi dari segi material, sapi juga membantu para petani di dalam berbagai hal. Sapi jantan di gunakan untuk membajak dan kotoran sapi digunakan untuk pupuk.
Sri Krsna sendiri yang muncul ke dunia material ini memberikan contoh kepada kita semua untuk menghormati sapi. Beliau bahkan lebih memementingkan sapi dari semua makhluk hidup lainya termasuk para brahmana. Seprti diuraikan di dalam sastra “namo brahmaëya-deväya go-brähmaëa-hitäya ca jagad-dhitäya kåñëäya govindäya namo namaù”.
Di vrndavan, tradisi menghormati sapi-sapi masih berlangsung sampai sekarang. Di beberpa tempat di daerah pedalaman di Vraja bumi, ketika mereka memasak roti (capati), roti pertama akan diberikan kepada sapi karena mereka mengangap bahwa krsna hanya akan menerima persembahan kalau mereka memuaskan sapi-sapi dan para brahmana. kemudian roti kedua di berikan kepada orang suci yan kebetulan lewat di daerah desa tersebut dan roti lainnya, di persembahkan kepada Sri Krsna.
Disini hendaknya kita membedakan istilah menghormati dan memuja. Orang Hindu memperlakukan sapi secara istimewa adalah untuk menghormati sapi, bukan memuja sapi. Hindu hanya memuja satu Tuhan, “eko narayanan na dwityo”sti kascit” tapi menghormati seluruh ciptaan Tuhan, terutama yang disebut ibu, para dewa yang mengatur alam material dan semua umat manusia.
Dalam tradisi Hindu dikenal beberapa entitas yang dapat disebut sebagai ibu yang harus kita hormati, yaitu;
  1. Ibu yang melahirkan kita, yaitu ibu kandung kita sendiri.
  2. Ibu yang menyusui kita walaupun tidak mengandung kita.
  3. Ibu yang memelihara dan mengasuh kita walaupun tidak melahirkan dan menyusui kita.
  4. Sapi yang telah memberikan kita susu, sumber panca gavya dalam pengobatan Ayur Vedic dan juga yang tenaganya telah kita gunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kita.
  5. Ibu pertiwi, yaitu bumi dan alam ini yang telah memberikan penghidupan pada kita dan harus kita jaga kelestariannya.
Sekarang kita gunakan hati nurani kita, apakah kita akan tega membunuh dan memakan daging sapi yang sudah kita minum susunya, yang sudah membantu pekerjaan-pekerjaan fisik kita dalam menarik pedati dan juga membajak sawah?
Disaat manusia dapat dengan mudahnya membunuh, memotong kepala ayam dan sapi tanpa perasaan, maka disaat itulah mereka akan memotong kepala manusia dan bahkan ibu kandungnya sendiri seperti memotong kepala seekor ayam.
Saya masih teringat di masyarakat kita di kalangan hindu di Bali. Ketika saya masih kecil, orang tua saya sering memperingatkan bahwa kalau kamu makan daging sapi, kamu tidak boleh datang ke pura tanpa mandi terlebih dahulu. Peringatan ini di berikan oleh orang tua saya dan sudah merupakan peringatan turun temurun dari nenek moyang kami. Namu sayangnya beberapa orang berangapan bahwa karena kalau kita makan daging sapi, maka kita tidak bisa masuk ke pura, itu berarti sapi adalah binatang haram. Ternyata setelah kita amati dan mempelajari kitab suci veda, ternyata sapi merupakan binatang yang suci yang dihormati oleh para dewa sekalipun. Bukanlah karena sapi merupakan binatang haram, maka kalau kita makan daging sapi kita tidak bisa ke pura tetapi karena sapi merupakan binatang yang sangat suci, sehinga kalau kita memakan daging sapi, maka kita diangap orang yang sangat berdosa, degan demikian tidak bisa masuk ke pura.  Karena itu, setelah makan daging sapi, kita harus menyucikan diri, paling tidak mandi terlebih dahulu sebelum memasuki tempat suci.
Ini bukan berarti bahwa kita bisa berlangsung memakan daging sapi dan kemudian mandi dan menyucikan diri. Tidak! Itu bukanlah proses prayascita yang sejati. Proses prayascita yang sejati adalah menyucikan diri dari perbuatan berdosa, merenungkan kegiatan berdosa tersebut dan berusaha untuk menghindari kegiatan tersebut. Kita hendaknya tidak melakukan prayascita seperti gajah mandi. Sri Pariksit maharaj di dalam Srimad Bhagavatam menguraikan sebagai berikut.

kvacin nivartate ‘bhadrät
kvacic carati tat punaù
präyaçcittam atho ‘pärthaà
manye kuïjara-çaucavat

Kadang kadang, orang sadar akan kegiatan berdosa namun melakukan kegitan berdosa lagi. Dengan demikian saya mengangap proces melakukan kegiatan berdosa yang berulang ulang dan penyucian berulang ulang sebagai hal yang tidak berguna. Ini sama halnya dengan gajah mandi ( kunjara-sauca-vat), karena gajah membersihkan dirinya dengan mandi namun begitu selesai mandi dan kembali ke daratan, sang gajah akan menghamburkan lumpur pada kepala dan badannya. ( Srimad Bhagavatam, 6.1.10).
Jadi ajaran dari orang tua kita, tidak boleh ke pura setelah makan daging sapi, hendaknya diambil serius dan menghindari daging sapi selama lamanya dan berusaha mengerti keagungan sapi. Diuraikan juga bahwa orang yang membunuh sapi, atau makan daging sapi, akan menderita di planet neraka selama ratusan tahun untuk membayar satu dari bulu sapi yang mereka makan. kalau seseorang makan daging sapi yang memliki seratus ribu bulu, maka orang tersebut mesti menderita di neraka selama 100.000 dikali 100 tahun. Sudah tentunya kita menghindari penyemblihan sapi dan makan daging sapi bukan karena takut untuk masuk neraka tapi karena rasa kasih sayang kita kepada sapi yang telah berkenan memberikan kita berbagai jenis makanan seperti yang telah diuraikan di atas.
Segala pujian kepada Go-mata.
Sri Govindäya namo namas te


Source:  narayanasmrti

Kamis, 15 November 2012

Sloka Bhagavad Gita I.1 - I.5


Bhagavad Gita I.1

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

dhṛtarāṣṭra uvāca
dharma-kṣetre kuru-kṣetre
samavetā yuyutsavaḥ
māmakāḥ pāṇḍavāś caiva
kim akurvata sañjaya

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.1

dhṛtarāṣṭraḥ - Raja Dhṛtarāṣṭra,
uvāca - kata,
dharmakṣetre - di tempat ziarah,
kurukṣetre - di tempat yang bernama Kurukṣetra,
samavetāḥ - dirakit;
yuyatsavaḥ - menginginkan untuk melawan,
māmakāḥ - anak anak saya,
pāṇḍavāḥ - putra Pandu,
ca - dan,
eva - tentu,
kim - apa,
akurvata - mereka lakukan,
Sanjaya - seorang abdi yang bernama Sanjaya.

arti sloka Bhagavad Gita 1.1:

Dhṛtarāṣṭra mengatakan: O Sanjaya, setelah perakitan di tempat ziarah di Kurukṣetra, apa yang anak-anak saya dan anak-anak Pandu lakukan, yang berkeinginan untuk melawan?
Bhagavad-gita adalah ilmu teistik dibaca luas diringkas dalam gita-māhātmya (Pemuliaan of Gita). Ada dikatakan bahwa seseorang harus membaca Bhagavad-gita sangat scrutinizingly dengan bantuan seseorang yang merupakan pemuja Sri Krsna dan mencoba untuk memahami tanpa interpretasi pribadi termotivasi. Contoh pemahaman yang jelas ada dalam Bhagavad-gita sendiri, dalam cara pengajaran dipahami oleh Arjuna, yang mendengar Gita langsung dari Tuhan. Jika seseorang cukup beruntung untuk memahami Bhagavad-gita dalam garis suksesi disciplic, tanpa penafsiran termotivasi, maka ia melampaui semua studi kebijaksanaan Veda, dan semua kitab suci dari dunia. Satu akan menemukan dalam Bhagavad-gita semua yang terkandung dalam kitab suci lainnya, namun pembaca juga akan menemukan hal-hal yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Itu adalah standar spesifik dari Gita. Ini adalah ilmu teistik sempurna karena langsung diucapkan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Sri Krsna.
Topik-topik yang dibahas oleh Dhṛtarāṣṭra dan Sanjaya, seperti yang dijelaskan dalam Mahabharata, membentuk prinsip dasar untuk filosofi ini besar. Hal ini dipahami bahwa filsafat ini berkembang pada bidang Pertempuran Kurukṣetra, yang merupakan tempat suci ziarah dari waktu purbakala dari zaman Veda. Hal itu diucapkan oleh Tuhan ketika Dia hadir secara pribadi di planet ini untuk bimbingan umat manusia.
Kata dharma-kṣetra (tempat di mana ritual keagamaan yang dilakukan) sangat penting karena, pada bidang Pertempuran Kurukṣetra, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa hadir di sisi Arjuna. Dhṛtarāṣṭra, ayah dari kaum kuru, itu sangat diragukan tentang kemungkinan kemenangan akhir anak-anaknya. Dalam keraguan, ia bertanya dari sekretarisnya Sanjaya, "Apa yang anak-anak saya dan anak-anak Pandu lakukan?" Dia yakin bahwa kedua anaknya dan anak-anak adiknya Pandu berkumpul dalam Bidang Kurukṣetra untuk keterlibatan ditentukan perang. Namun, pertanyaannya adalah signifikan. Dia tidak ingin kompromi antara sepupu dan saudara, dan dia ingin memastikan nasib anak-anaknya di medan perang. Karena pertempuran itu diatur untuk bertempur di Kurukṣetra, yang disebutkan di tempat lain dalam Weda sebagai tempat ibadah-bahkan untuk penghuni surga-Dhṛtarāṣṭra menjadi sangat takut tentang pengaruh tempat suci pada hasil pertempuran. Dia tahu betul bahwa ini akan mempengaruhi Arjuna dan anak-anak Pandu menguntungkan, karena pada dasarnya mereka semua berbudi luhur. Sanjaya adalah seorang mahasiswa Vyasa, dan oleh karena itu, karena rahmat Vyasa, Sanjaya mampu membayangkan bidang Pertempuran Kurukṣetra bahkan ketika ia berada di kamar Dhṛtarāṣṭra. Dan sebagainya, Dhṛtarāṣṭra bertanya kepadanya tentang situasi di medan perang. .
Baik Pandawa dan anak-anak Dhṛtarāṣṭra milik keluarga yang sama, tetapi pikiran Dhṛtarāṣṭra yang diungkapkan di sini. Dia sengaja diklaim hanya anak-anaknya sebagai Kuru, dan ia memisahkan anak-anak Pandu dari warisan keluarga. Satu sehingga bisa memahami posisi tertentu Dhṛtarāṣṭra dalam hubungannya dengan keponakannya, anak-anak Pandu. Seperti di sawah tanaman yang tidak perlu dibawa keluar, sehingga diharapkan dari awal topik ini yang di bidang agama Kurukṣetra mana bapak agama, Sri Krsna, hadir, tanaman yang tidak diinginkan seperti Dhṛtarāṣṭra putra Duryodana dan lain-lain akan dihapus dan orang-orang benar-benar religius, dipimpin oleh Yudistira, akan ditetapkan oleh Tuhan. Inilah arti penting dari kata-kata dharma-kṣetre dan kuru-kṣetre, terlepas dari pentingnya mereka sejarah dan Veda.

Bhagavad Gita I.2

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

sañjaya uvāca
dṛṣṭvā tu pāṇḍavānīkaṁ
vyūḍhaṁ duryodhanas tadā
ācāryam upasaṅgamya
rājā vacanam abravīt

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.2

sañjayaḥ - Sanjaya, 
uvāca - kata; 
dṛṣṭvā - setelah melihat, 
tu - tapi, 
Pandawa anīkam - tentara Pandawa,
vyūḍham - diatur dalam militer; 
duryodhanaḥ - Raja Duryodana, 
Tada - pada saat itu, 
ācāryam - guru, 
upasaṅgamya - mendekati sekitarnya; 
raja - raja, 
vacanam - kata, 
abravīt - berbicara.

arti sloka Bhagavad Gita 1.2:

Sanjaya mengatakan: Wahai Raja, setelah melihat dari atas tentara dikumpulkan oleh anak-anak Pandu, Raja Duryodana pergi ke gurunya dan mulai berbicara kata-kata berikut:
Dhṛtarāṣṭra buta sejak lahir. Sayangnya, ia juga kehilangan visi spiritual. Dia tahu betul bahwa anak-anaknya sama-sama buta dalam hal agama, dan ia yakin bahwa mereka tidak pernah bisa mencapai pemahaman dengan Pandawa, yang semuanya saleh sejak lahir. Masih dia ragu-ragu tentang pengaruh tempat ziarah, dan Sanjaya bisa memahami motifnya dalam bertanya tentang situasi di medan perang. Dia ingin, karena itu, untuk mendorong Raja sedih, dan dengan demikian ia memperingatkan bahwa anak-anaknya tidak akan membuat semacam kompromi di bawah pengaruh tempat suci. Sanjaya karena memberitahu Raja bahwa anaknya, Duryodana, setelah melihat kekuatan militer Pandawa, sekaligus pergi ke panglima perang Droṇācārya, untuk memberitahukan kepadanya tentang posisi sebenarnya. Meskipun Duryodana disebutkan sebagai raja, ia masih harus pergi ke komandan karena keseriusan situasi. Karena itu ia cukup fit untuk menjadi politisi. Tapi utusan diplomatik Duryodana tidak bisa menyembunyikan rasa takut perasaannya ketika ia melihat susunan militer Pandawa.

Bhagavad Gita I.3

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

paśyaitāṁ pāṇḍu-putrāṇām
ācārya mahatīṁ camūm
vyūḍhāṁ drupada-putreṇa
tava śiṣyeṇa dhīmatā

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.3

Pasya - lihatlah,
Etam - ini;
Pandu putrāṇām - putra dari Pandu,
Acarya - O guru,
mahatīm - besar;
camūm - kekuatan militer,
vyuḍham - diatur,
Drupada putreṇa - oleh putra Drupada,
tava - Anda,
śiṣyeṇa - murid;
dhīmatā - sangat cerdas.

arti sloka Bhagavad Gita 1.3:

Wahai guru saya, lihatlah tentara besar anak-anak Pandu, jadi ahli diatur oleh murid cerdas Anda, putra Drupada.
Duryodana, seorang diplomat yang hebat, ingin menunjukkan cacat dari Droṇācārya, seorang Brahmana yang menjadi panglima perang keluarga Kuru. Droṇācārya memiliki beberapa pertengkaran politik dengan Raja Drupada, ayah dari Dropadi, yang menjadi istri Arjuna. Droṇācārya tahu ini dengan baik, namun, sebagai brahmana liberal, ia tidak ragu-ragu untuk memberikan semua rahasia militer ketika putra Drupada, Dhṛṣṭadyumna, dipercayakan kepadanya untuk pendidikan militer. Sekarang, di bidang Pertempuran Kurukṣetra, Dhṛṣṭadyumna mengambil sisi Pandawa, dan dialah yang mengatur militer mereka, setelah belajar seni dari Droṇācārya.
Duryodana ini menunjukkan kesalahan ini Droṇācārya sehingga ia mungkin waspada dan tanpa kompromi dalam pertempuran. Dengan ini ia ingin menunjukkan juga bahwa dia tidak boleh sama lunak dalam pertempuran melawan Pandawa, yang juga mahasiswa kasih sayang Droṇācārya itu. Arjuna, khususnya, adalah muridnya yang paling sayang dan brilian. Duryodana juga memperingatkan bahwa kelonggaran seperti dalam perjuangan akan menyebabkan kekalahan.

Bhagavad Gita I.4

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

atra śūrā maheṣv-āsā
bhīmārjuna-samā yudhi
yuyudhāno virāṭaś ca
drupadaś ca mahā-rathaḥ

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.4

atra-sini; surah-pahlawan; maheṣvāsāḥ-perkasa pemanah, Bhima-arjuna-Bima dan Arjuna, Samah-sama, yudhi-dalam perjuangan;yuyudhānaḥ-Yuyudhāna, virāṭaḥ-Wirata, ca-juga, drupadaḥ-Drupada, ca-juga, mahārathaḥ-besar tempur.

arti sloka Bhagavad Gita 1.4:

Di sini dalam tentara ini ada pemanah heroik yang sama dalam berjuang untuk Bhima dan Arjuna, ada juga pejuang besar seperti Yuyudhāna, Wirata, dan Drupada.
Meskipun Dhṛṣṭadyumna bukanlah kendala yang sangat penting dalam menghadapi kekuasaan Droṇācārya yang sangat besar dalam seni militer, ada banyak orang lain yang menjadi penyebab ketakutan. Mereka disebutkan oleh Duryodana sebagai batu sandungan besar pada jalur kemenangan karena masing-masing dan setiap dari mereka adalah sebagai tangguh seperti Bima dan Arjuna. Dia tahu kekuatan Bhima dan Arjuna, dan dengan demikian ia membandingkan orang lain dengan mereka.

Bhagavad Gita I.5

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

dhṛṣṭaketuś cekitānaḥ
kāśirājaś ca vīryavān
purujit kuntibhojaś ca
śaibyaś ca nara-puṅgavaḥ

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.5

dhṛṣṭaketuḥ - Dhṛṣṭaketu, 
cekitānaḥ - Cekitāna, 
kāśirājaḥ - Kaśirāja, 
ca - juga, 
vīryavān - sangat kuat; 
purujit - Purujit; 
kuntibhojaḥ - Kuntibhoja, 
ca - dan; 
śaibyaḥ - Śaibya, 
nara puṅgavaḥ - pahlawan dalam masyarakat manusia.

arti sloka Bhagavad Gita 1.5:

Ada juga besar, heroik, pejuang yang kuat seperti Dhṛṣṭaketu, Cekitāna, Kāśirāja, Purujit, Kuntibhoja dan Śaibya.