EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKorean ArabicChinese Simplified
Choose Your Language

Kamis, 15 November 2012

Sloka Bhagavad Gita I.1 - I.5


Bhagavad Gita I.1

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

dhṛtarāṣṭra uvāca
dharma-kṣetre kuru-kṣetre
samavetā yuyutsavaḥ
māmakāḥ pāṇḍavāś caiva
kim akurvata sañjaya

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.1

dhṛtarāṣṭraḥ - Raja Dhṛtarāṣṭra,
uvāca - kata,
dharmakṣetre - di tempat ziarah,
kurukṣetre - di tempat yang bernama Kurukṣetra,
samavetāḥ - dirakit;
yuyatsavaḥ - menginginkan untuk melawan,
māmakāḥ - anak anak saya,
pāṇḍavāḥ - putra Pandu,
ca - dan,
eva - tentu,
kim - apa,
akurvata - mereka lakukan,
Sanjaya - seorang abdi yang bernama Sanjaya.

arti sloka Bhagavad Gita 1.1:

Dhṛtarāṣṭra mengatakan: O Sanjaya, setelah perakitan di tempat ziarah di Kurukṣetra, apa yang anak-anak saya dan anak-anak Pandu lakukan, yang berkeinginan untuk melawan?
Bhagavad-gita adalah ilmu teistik dibaca luas diringkas dalam gita-māhātmya (Pemuliaan of Gita). Ada dikatakan bahwa seseorang harus membaca Bhagavad-gita sangat scrutinizingly dengan bantuan seseorang yang merupakan pemuja Sri Krsna dan mencoba untuk memahami tanpa interpretasi pribadi termotivasi. Contoh pemahaman yang jelas ada dalam Bhagavad-gita sendiri, dalam cara pengajaran dipahami oleh Arjuna, yang mendengar Gita langsung dari Tuhan. Jika seseorang cukup beruntung untuk memahami Bhagavad-gita dalam garis suksesi disciplic, tanpa penafsiran termotivasi, maka ia melampaui semua studi kebijaksanaan Veda, dan semua kitab suci dari dunia. Satu akan menemukan dalam Bhagavad-gita semua yang terkandung dalam kitab suci lainnya, namun pembaca juga akan menemukan hal-hal yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Itu adalah standar spesifik dari Gita. Ini adalah ilmu teistik sempurna karena langsung diucapkan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Sri Krsna.
Topik-topik yang dibahas oleh Dhṛtarāṣṭra dan Sanjaya, seperti yang dijelaskan dalam Mahabharata, membentuk prinsip dasar untuk filosofi ini besar. Hal ini dipahami bahwa filsafat ini berkembang pada bidang Pertempuran Kurukṣetra, yang merupakan tempat suci ziarah dari waktu purbakala dari zaman Veda. Hal itu diucapkan oleh Tuhan ketika Dia hadir secara pribadi di planet ini untuk bimbingan umat manusia.
Kata dharma-kṣetra (tempat di mana ritual keagamaan yang dilakukan) sangat penting karena, pada bidang Pertempuran Kurukṣetra, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa hadir di sisi Arjuna. Dhṛtarāṣṭra, ayah dari kaum kuru, itu sangat diragukan tentang kemungkinan kemenangan akhir anak-anaknya. Dalam keraguan, ia bertanya dari sekretarisnya Sanjaya, "Apa yang anak-anak saya dan anak-anak Pandu lakukan?" Dia yakin bahwa kedua anaknya dan anak-anak adiknya Pandu berkumpul dalam Bidang Kurukṣetra untuk keterlibatan ditentukan perang. Namun, pertanyaannya adalah signifikan. Dia tidak ingin kompromi antara sepupu dan saudara, dan dia ingin memastikan nasib anak-anaknya di medan perang. Karena pertempuran itu diatur untuk bertempur di Kurukṣetra, yang disebutkan di tempat lain dalam Weda sebagai tempat ibadah-bahkan untuk penghuni surga-Dhṛtarāṣṭra menjadi sangat takut tentang pengaruh tempat suci pada hasil pertempuran. Dia tahu betul bahwa ini akan mempengaruhi Arjuna dan anak-anak Pandu menguntungkan, karena pada dasarnya mereka semua berbudi luhur. Sanjaya adalah seorang mahasiswa Vyasa, dan oleh karena itu, karena rahmat Vyasa, Sanjaya mampu membayangkan bidang Pertempuran Kurukṣetra bahkan ketika ia berada di kamar Dhṛtarāṣṭra. Dan sebagainya, Dhṛtarāṣṭra bertanya kepadanya tentang situasi di medan perang. .
Baik Pandawa dan anak-anak Dhṛtarāṣṭra milik keluarga yang sama, tetapi pikiran Dhṛtarāṣṭra yang diungkapkan di sini. Dia sengaja diklaim hanya anak-anaknya sebagai Kuru, dan ia memisahkan anak-anak Pandu dari warisan keluarga. Satu sehingga bisa memahami posisi tertentu Dhṛtarāṣṭra dalam hubungannya dengan keponakannya, anak-anak Pandu. Seperti di sawah tanaman yang tidak perlu dibawa keluar, sehingga diharapkan dari awal topik ini yang di bidang agama Kurukṣetra mana bapak agama, Sri Krsna, hadir, tanaman yang tidak diinginkan seperti Dhṛtarāṣṭra putra Duryodana dan lain-lain akan dihapus dan orang-orang benar-benar religius, dipimpin oleh Yudistira, akan ditetapkan oleh Tuhan. Inilah arti penting dari kata-kata dharma-kṣetre dan kuru-kṣetre, terlepas dari pentingnya mereka sejarah dan Veda.

Bhagavad Gita I.2

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

sañjaya uvāca
dṛṣṭvā tu pāṇḍavānīkaṁ
vyūḍhaṁ duryodhanas tadā
ācāryam upasaṅgamya
rājā vacanam abravīt

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.2

sañjayaḥ - Sanjaya, 
uvāca - kata; 
dṛṣṭvā - setelah melihat, 
tu - tapi, 
Pandawa anīkam - tentara Pandawa,
vyūḍham - diatur dalam militer; 
duryodhanaḥ - Raja Duryodana, 
Tada - pada saat itu, 
ācāryam - guru, 
upasaṅgamya - mendekati sekitarnya; 
raja - raja, 
vacanam - kata, 
abravīt - berbicara.

arti sloka Bhagavad Gita 1.2:

Sanjaya mengatakan: Wahai Raja, setelah melihat dari atas tentara dikumpulkan oleh anak-anak Pandu, Raja Duryodana pergi ke gurunya dan mulai berbicara kata-kata berikut:
Dhṛtarāṣṭra buta sejak lahir. Sayangnya, ia juga kehilangan visi spiritual. Dia tahu betul bahwa anak-anaknya sama-sama buta dalam hal agama, dan ia yakin bahwa mereka tidak pernah bisa mencapai pemahaman dengan Pandawa, yang semuanya saleh sejak lahir. Masih dia ragu-ragu tentang pengaruh tempat ziarah, dan Sanjaya bisa memahami motifnya dalam bertanya tentang situasi di medan perang. Dia ingin, karena itu, untuk mendorong Raja sedih, dan dengan demikian ia memperingatkan bahwa anak-anaknya tidak akan membuat semacam kompromi di bawah pengaruh tempat suci. Sanjaya karena memberitahu Raja bahwa anaknya, Duryodana, setelah melihat kekuatan militer Pandawa, sekaligus pergi ke panglima perang Droṇācārya, untuk memberitahukan kepadanya tentang posisi sebenarnya. Meskipun Duryodana disebutkan sebagai raja, ia masih harus pergi ke komandan karena keseriusan situasi. Karena itu ia cukup fit untuk menjadi politisi. Tapi utusan diplomatik Duryodana tidak bisa menyembunyikan rasa takut perasaannya ketika ia melihat susunan militer Pandawa.

Bhagavad Gita I.3

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

paśyaitāṁ pāṇḍu-putrāṇām
ācārya mahatīṁ camūm
vyūḍhāṁ drupada-putreṇa
tava śiṣyeṇa dhīmatā

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.3

Pasya - lihatlah,
Etam - ini;
Pandu putrāṇām - putra dari Pandu,
Acarya - O guru,
mahatīm - besar;
camūm - kekuatan militer,
vyuḍham - diatur,
Drupada putreṇa - oleh putra Drupada,
tava - Anda,
śiṣyeṇa - murid;
dhīmatā - sangat cerdas.

arti sloka Bhagavad Gita 1.3:

Wahai guru saya, lihatlah tentara besar anak-anak Pandu, jadi ahli diatur oleh murid cerdas Anda, putra Drupada.
Duryodana, seorang diplomat yang hebat, ingin menunjukkan cacat dari Droṇācārya, seorang Brahmana yang menjadi panglima perang keluarga Kuru. Droṇācārya memiliki beberapa pertengkaran politik dengan Raja Drupada, ayah dari Dropadi, yang menjadi istri Arjuna. Droṇācārya tahu ini dengan baik, namun, sebagai brahmana liberal, ia tidak ragu-ragu untuk memberikan semua rahasia militer ketika putra Drupada, Dhṛṣṭadyumna, dipercayakan kepadanya untuk pendidikan militer. Sekarang, di bidang Pertempuran Kurukṣetra, Dhṛṣṭadyumna mengambil sisi Pandawa, dan dialah yang mengatur militer mereka, setelah belajar seni dari Droṇācārya.
Duryodana ini menunjukkan kesalahan ini Droṇācārya sehingga ia mungkin waspada dan tanpa kompromi dalam pertempuran. Dengan ini ia ingin menunjukkan juga bahwa dia tidak boleh sama lunak dalam pertempuran melawan Pandawa, yang juga mahasiswa kasih sayang Droṇācārya itu. Arjuna, khususnya, adalah muridnya yang paling sayang dan brilian. Duryodana juga memperingatkan bahwa kelonggaran seperti dalam perjuangan akan menyebabkan kekalahan.

Bhagavad Gita I.4

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

atra śūrā maheṣv-āsā
bhīmārjuna-samā yudhi
yuyudhāno virāṭaś ca
drupadaś ca mahā-rathaḥ

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.4

atra-sini; surah-pahlawan; maheṣvāsāḥ-perkasa pemanah, Bhima-arjuna-Bima dan Arjuna, Samah-sama, yudhi-dalam perjuangan;yuyudhānaḥ-Yuyudhāna, virāṭaḥ-Wirata, ca-juga, drupadaḥ-Drupada, ca-juga, mahārathaḥ-besar tempur.

arti sloka Bhagavad Gita 1.4:

Di sini dalam tentara ini ada pemanah heroik yang sama dalam berjuang untuk Bhima dan Arjuna, ada juga pejuang besar seperti Yuyudhāna, Wirata, dan Drupada.
Meskipun Dhṛṣṭadyumna bukanlah kendala yang sangat penting dalam menghadapi kekuasaan Droṇācārya yang sangat besar dalam seni militer, ada banyak orang lain yang menjadi penyebab ketakutan. Mereka disebutkan oleh Duryodana sebagai batu sandungan besar pada jalur kemenangan karena masing-masing dan setiap dari mereka adalah sebagai tangguh seperti Bima dan Arjuna. Dia tahu kekuatan Bhima dan Arjuna, dan dengan demikian ia membandingkan orang lain dengan mereka.

Bhagavad Gita I.5

Mengamati tentara di medan Pertempuran Kurukṣetra

dhṛṣṭaketuś cekitānaḥ
kāśirājaś ca vīryavān
purujit kuntibhojaś ca
śaibyaś ca nara-puṅgavaḥ

sinonim katanya Bhagavad Gita 1.5

dhṛṣṭaketuḥ - Dhṛṣṭaketu, 
cekitānaḥ - Cekitāna, 
kāśirājaḥ - Kaśirāja, 
ca - juga, 
vīryavān - sangat kuat; 
purujit - Purujit; 
kuntibhojaḥ - Kuntibhoja, 
ca - dan; 
śaibyaḥ - Śaibya, 
nara puṅgavaḥ - pahlawan dalam masyarakat manusia.

arti sloka Bhagavad Gita 1.5:

Ada juga besar, heroik, pejuang yang kuat seperti Dhṛṣṭaketu, Cekitāna, Kāśirāja, Purujit, Kuntibhoja dan Śaibya.

Bhagawadgita


Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.
Kitab ini terdiri dari 18 bab, yaitu:
  • BAB 1 Arjuna Wisada Yoga (Meninjau tentara-tentara di medan perang Kurukshetra). Tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur. Arjuna, seorang ksatria yang perkasa, melihat sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-kawannya dalam tentara-tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah kenestapaan dan rasa kasih sayang, sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung, dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur.
  • BAB II Ringkasan isi Bhagavad-gita, menguraikan tentang Arjuna menyerahkan diri sebagai murid kepada Sri Kresna, kemudian Kresna memulai pelajaran-Nya kepada Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani yang bersifat sementara dan sang roh yang bersifat kekal. Kresna menjelaskan proses perpindahan sang roh, sifat pengabdian kepada Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri dan ciri-ciri orang yang sudah insaf akan dirinya.
  • BAB III Karma Yoga, menguraikan mengenai semua orang harus melakukan kegiatan di dunia ini. Tetapi perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat dibebaskan dari hukum karma (perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan sejati tentang sang diri dan Yang Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Tuhan, tanpa mementingkan diri sendiri.
  • BAB IV Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga melalui pengetahuan rohani-pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara sang roh dan Tuhan-menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti itu adalah hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri disebut karma yoga. Krishna menjelaskan sejarah Bhagavad-gita sejak zaman purbakala, tujuan dan makna Beliau sewaktu-waktu menurun ke dunia ini, serta pentingnya mendekati seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya.
  • BAB V Karma Yoga, Perbuatan dalam kesadaran Krishna, orang yang bijaksana yang sudah disucikan oleh api pengetahuan rohani, secara lahiriah melakukan segala kegiatan tetapi melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya. Dengan cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidakterikatan, kesabaran, pengelihatan rohani dan kebahagiaan.
  • BAB VI Dhyana Yoga, menguraikan tentang astanga yoga, sejenis latihan meditasi lahiriah, mengendalikan pikiran dan indria-indria dan memusatkan perhatian kepada Paramatma (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati). Puncak latihan ini adalah samadhi. samadhi artinya sadar sepenuhnya terhadap Yang Maha Kuasa.
  • BAB VII Pengetahuan tentang Yang Mutlak, Sri Krishna adalah Kebenaran Yang Paling Utama, Penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala sesuatu, baik yang material maupun rohani. Roh-roh yang sudah maju menyerahkan diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang tidak saleh mengalihkan obyek-obyek sembahyang kepada yang lain.
  • BAB VIII Cara Mencapai Kepada Yang Mahakuasa, Seseorang dapat mencapai tempat tinggal Krishna Yang Paling Utama, di luar dunia material, dengan cara ingat kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.
  • BAB IX Raja Widya Rajaguhya Yoga (Pengetahuan Yang Paling Rahasia), hakikat Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya), Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang, sang roh mempunyai hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali kepada Krishna di alam rohani.
  • BAB X Wibhuti Yoga, Kehebatan Tuhan Yang Mutlak, menguraikan mengenai sifat hakikat Tuhan yang absolut/mutlak. Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain daripada perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakekat segala sesuatu. Krishna,Tuhan Yang Maha Esa adalah tujuan sembahyang tertinggi bagi para mahluk.
  • BAB XI Wiswarupa Darsana Yoga, Bentuk Semesta, menguraikan tentang Sri Krishna menganugrahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna. Ia memperlihatkan bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagian alam semesta. Dengan cara demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai Yang Mahakuasa. Krishna menjelaskan bahwa bentuk-Nya Sendiri serba tampan dan dekat dengan bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat melihat bentuk ini hanya dengan bhakti yang murni
  • BAB XII Bhakti Yoga, Pengabdian Suci Bhakti, menguraikan tentang cara yoga dengan bhakti, bhakti-yoga, pengabdian suci yang murni kebada Sri Krishna, adalah cara tertinggi dan paling manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada Krishna, tujuan tertinggi kehidupan rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini dapat mengembangkan sifat-sifat suci.
  • BAB XIII Ksetra Ksetradnya Yoga, Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan Kesadaran, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan prakrti, orang yang mengerti perbedaan antara badan, dengan sang roh dan Roh Yang Utama yang melampaui badan dan roh, akan mencapai pembebasan dari dunia material.
  • BAB XIV Guna Traya Wibhaga Yoga, Tiga Sifat Alam Material, membahas Triguna (tiga sifat alam material) - Sattvam, Rajas dan Tamas, semua roh terkurung dalam badan di bawah pengendalian tiga sifat alam material; kebaikan (sattvam), nafsu (rajas) dan kebodohan (tamas). Sri Krishna menjelaskan arti sifat-sifat tersebut dalam bab ini, bagaimana sifat-sifat tersebut mempengaruhi diri kita, bagaimana cara melampaui sifat-sifat tersebut serta ciri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan rohani (orang yang sudah lepas dari tiga sifat alam).
  • BAB XV Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat Ketuhanan, Tujuan utama pengetahuan veda adalah melepaskan diri dari ikatan terhadap dunia material dan mengerti Krishna sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mengerti identitas Krishna yang paling utama menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni pengbdian suci kepada Krishna.
  • BAB XVI Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas mengenai hakikat tingkah-laku manusia, sifat rohani dan sifat jahat. Orang yang memiliki sifat-sifat jahat dan hidup sesuka hatinya, tanpa mengikuti aturan Kitab Suci, dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara material, tetapi orang yang memiliki sifat-sifat suci dan hidup secara teratur dengan mematuhi kekuasaan Kitab Suci, berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.
  • BAB XVII Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan mengenai golongan-golongan keyakinan. Ada tiga jenis keyakinan, yang masing-masing berkembang dari salah satu di antara tiga sifat alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan hanya membuahkan hasil material yang sifatnya sementara, sedangkan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebaikan, menurut Kitab Suci, menyucikan hati dan membawa seseorang sampai pada tingkat keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Krishna.
  • BAB XVIII Moksa Samnyasa Yoga, Kesempurnaan pelepasan ikatan, merupakan kesimpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi. Dalam bab ini Krishna menjelaskan arti dari pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam terhadap kesadaran dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman, kemuliaan Bhagawadgita, dan kesimpulan Bhagavad-gita; jalan kerohanian tertinggi berarti menyerahkan diri sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta-bhakti kepada Sri Krishna. Jalan ini membebaskan seseorang dari segala dosa, membawa dirinya sampai pembebasan sepenuhnya dari kebodohan dan memungkinkan ia kembali ke tempat tinggal rohani Sri Krishna yang kekal. source: wikipedia

Rabu, 07 November 2012

Pengijeng Karang - Sedahan Karang





Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian).
Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata.
Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada 24/7 dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis.
rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah.
Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang

Sanggah Pengijeng karang

Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi "kuil untuk penjaga rumah"
  • kata "sanggah / tugu" berarti "tempat / bangunan suci",
  • kata "pengijeng" berarti penjaga. (berasal dari kata "ngijeng" berarti "untuk menjaga" atau "untuk tinggal di rumah") dan
  • kata "karang" berarti "halaman rumah".
Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut.
Bangunan ini didedikasikan untuk Kala Raksa, atau Bhatara Kala - dewa roh-roh jahat. Bali percaya bahwa ketika mereka menggunakan dewa roh jahat sebagai wali, logis, tidak ada roh jahat akan berani mengganggu lingkungan rumah dan penghuninya. Seperti hal-hal lain di Bali, tidak ada keseragaman dalam nama dan fungsi dari bangunan kuil ini. Beberapa Bali mengatakan itu didedikasikan untuk Bhatara Surya, matahari. Lain mengklaim memiliki hubungan dengan tepuk kanda (kanda pat) - empat saudara spiritual dari setiap orang Bali. Kuil ini kadang-kadang digambarkan sebagai untuk keluarga. Kata "keluarga" di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk pat kanda - keluarga mistis yang tinggal di alam mistis.

Sedahan Karang dalam Lontar Sudamala

dalam Lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman Tuhan Yang Maha Esa, turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu sang hyang wenang dan sang hyang titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut:
  • Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan
  • Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam susatra bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini.
Dalam aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa sedahan karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana hyang guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “gelung tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan sedahan karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar.

Sedahan Karang dalam Lontar Kala Tatwa

Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih.
Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.
Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian.
Dalam kala tatwa juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat dina kajeng klion nemu dina saniscara yang dibali dengan istilah “tumpek”.
Jadi baiknya disarankan agar odalan Sedahan Karang disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek dibali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala.

Sedahan Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi

dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dr sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain:
  1. posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan"
  2. posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin"
  3. posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu"
  4. posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong"
  5. posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah"
  6. posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" 
  7. posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang
  8. posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur"
  9. posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul- angkul" gerbang rumah.
setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya:
  • untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menuju Kala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi.
  • untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara  dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama.
menurut bapak Made Purna, salah satu narasumber dari desa Guwang Sukawati. Rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. dimana setiap bangunan rumah adat bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa perkaman. diantaranya:
  • Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya istadewata / dewata nawa sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem,
  • Bale Dangin, merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara),
  • Bale Daja, merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu),
  • Bale Dauh, merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat,
  • Bale Delod, biasanya digunakan sebagai dapur atau Paon, merupakan simbol Dewa Brahma, Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan,
  • Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah,
  • Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan,
  • Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbolHyang Bherawi, penguasa kuburan
  • Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapatinya atau ulun kuburan di rumah.
jadi simbolis Hulu adalah Pura dalem (sanggah pemerajan), Teben adalah lebuh natah, tempat ari-ari yang memiliki pura prajapati bernama Sedahan Karang.

Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat:
  • pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara”
  • sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang
  • di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu
  • di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura
Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil.
Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian.

Caru, Segehan, dan Tawur





Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta / Panca Maha Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
·         Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
·         Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
·         Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
·         Timur = Purwa: ayam warna putih, dengan urip 5.
·         Selatan = Daksina: ayam warna merah (biing), dengan urip 9.
·         Barat = Pascima: ayam warna kuning (putih siungan) , dengan urip 7.
·         Utara = Uttara: ayam warna hitam (selem), dengan urip 4.
·         Tengah = Madya: ayam warna brumbun, dengan urip 8.
Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya.
Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri Hhita Karana’ yakni
1.      keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan),
2.      sesama manusia (pawongan), dan
3.      dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, “patut diadakan pecaruan”.
Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ?
Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam. dan seterusnya…
Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam “Manawa Dharmasastra V.40”; Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
Berikut ini dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru.
Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.
Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru” jenis-jenis caru adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Baten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam “lontar Bhama Kertih” digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Upacara Rsi Gana
Dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan “upacara Rsi Gana” memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah “caru Rsi Gana”.
Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
·         Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
·         Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
·         Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.
Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.
source: cakepane