EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKorean ArabicChinese Simplified
Choose Your Language

Minggu, 13 November 2011

Mitologi Wuku (Sinta-Watugunung)

 
Berdasarkan lontar Medangkamulan diceritakan
kelahiran wuku seperti dibawah ini. Tersebutlah ada raja yang banyaknya 27
orang yaitu Raja Giriswara memerintah di Gunung Emalaya, Raja Kuladewa di
Pasutranu. Raja Talu memerintah di Winekatalu. Raja Mrebuana di Marga Wisaya.
Raja Waksaya di Bragu. Juga ada Raja Wariwisaya di Waragadiaswara. Raja
Mrikjulung memerintah di Sekar Kencana, Raja Sungsangtaya di Sagraya. Ada lagi
yang lainnya yaitu Raja Dungulan bertahta di Tanpasabda. Raja Puspita di Jena.
Raja Langkir di Langkaraya. Raja Medangsu di Medangpat. Raja Pujitwa di
Pujiwisaya. Raja Paha di Pangkurian. Raja Kruru di Ruruksa. Raja Mrangsinga
memerintah di Mrasuminggah. Raja
Tambur memerintah di Kawi. Ada lagi  Raja
Medangkusa memerintah di Kusinagara.Raja Matal memerintah di Matala. Raja Uye
di Padengenan. Raja Ijala di Wirajala. Raja Yuda di Prangwija. Raja Baliraja
memerintah di Ladikara. Raja Wiugah di Gandawiran. Raja Ringgita di Apsari.Raja
Kulawudra bertahta di Kalasumihang. Raja Sasawi di Tresawit.
 
Diceritakan lagi bernama Dang Hyang Kulagiri,
mempunyai istri dua orang, istri yang pertama namanya Dewi Sintakasih, putra
dari bhagawan Gadiswara, istri yang kedua namanya Dewi Sanjiwartia, pura Dang
Hyang Pasupati, kedua putri ini menjadi Raja di Kundadwipa.
 
Setelah lama bersuami istri, lalu Dang Hyang
Kulagiri berkata kepada istri keduanya, menyampaikan bahwa beliau segera akan
pergi ke Gunung sumeru bertapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya
baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi. Istri beliau berdua
menyetujui.
 
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah
cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintaksih
bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum
datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke
gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa).
 
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari
kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng
Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai
tanda akan melahirkan. Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan
lebar, melepaskan lelahnya sampil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang
tidak tertahan saat itu juga Desi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki.
Pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
 
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan
berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah
Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka
bersedih. Sang Dewi menghormat sambil berkata: “Ya, yang terhormat batara,
hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba
baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga
beliau datan (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”. Demikianlah
kata kedua putri itu menghormat kehadapan Dewa Brahma.
 
Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri
tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur
terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para
dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang
hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali
yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “ Karena bayimu lahir di atas batu,
aku anugrahi nama I Watugunung”. Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi
keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian gaiblah Dewa Brahma
kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka.
 
Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya
ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami
pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya mearasa kewalahan meladeni
bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Heranlah kedua
permaisuri itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu
kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya.
Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang
luar biasa itu. Sampai-sampai
merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu menuntut untuk makan.
 
Tersebutlah pada suatu hari ibuny sedang memasak
di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk
dimakan. Ibunya berkata : ”Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya
belum masak”.
 
Demikian kata ibunya tetapi sang  Watugunung tidak menghiraukan dan melahan
mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena
tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa
bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai
habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih
panas sudah dihabiskan.
 
Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak
sopan, ibunya menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul
putranya tepat di kepalanya sampai berlumjuran darah, sang Watugunung menangis
terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Ketika sakit dari lukanya sudah
agak reda Watugunung meninggalkan kraton karena saking marahnya menuju gunung
Emalaya. Dalam perjalanan
sang Watugunung berbuat seenaknya saja terual makanan, merampok terutama dalam
hal makanan, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya.
 
Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa
sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan
dari penduduk. Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dankeamanan penduduk. 
Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi
tingkah polah anak itu, akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara.
Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu
juga memerintahkan rakyatnya untuk membunuh Watugunung.
 
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan
kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul
dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut yang kesemuanya
tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh
senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun tidak ada
yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan mengobrak-abrik
yang menyerangnya, mengahancurkan kelompok penyerang yang hebat itu.
 
Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari
terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja
sangat marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung. Raja
Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan
yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding
antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam
peperangan itu. Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada
akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja
Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan
kerajaan Emalaya sampai di sini.
 
Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan serangan
mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena
serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka
terjadilah pertempuran yang tidak kurang dasyatnya dengan pertempuran di
kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung
yang hebat itu. Akhirnya mereka lari tunggang langgang meneyelamatkan jiwanya
masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk
kepada Watugunung.
 
Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada
raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja
Sunsang dan yang lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Keseluruhan dari 
kerajaan yang dikalahkan
berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua  
Rajanya tunduk kepada sang Watugunung. Tak
ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya menjadi jajahan sang Watugunung.
 
Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di
kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung
memerintah daerah jajahannya.
 
Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan
kepada raja-raja taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang
hebat lagi yang belum aku tundukkan?”. para raja pun menjawab ” Daulat tuanku
maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku
tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara
Kundadwipa yang sangat diagungkanoleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku 
dapat mengalahkannya kedua
raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja. Demikianlah
jawaban dari raja-raja yang didengar keterangannya. Dan raja Girisila
membenarkan.
 
Setelah mendengar keterangan dari  para raja itu, maharaja Girisila
memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan
persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa. Rencana ini didengar oleh
kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk
menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula dengan
persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran yang sengit,
seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai. Sama-sama perwira
sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah pantang mundur. Korban dari 
kedua belah pihak makin banak,
korban jiwa korban harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung
yang menderita kekalahan adalah di pihak Kundadwipa.Maka kedua raja perempuan 
itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah
ibunya sendiri.
 
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang
Watugunung menyuruh kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, 
hujan
dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di
langit. Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang
bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap dewa Siwa. ”Haturnya
yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat
seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai
dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak
benar berlaku seperti binatang”. Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa
Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada(Rsi Priarana)
supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang
dasyat ini. Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia
di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua
istrinya. Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka. Melaporkan
kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa kami datang
dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami lakukan dengan sangat
teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat yang tidak memenuhi tata
susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung mengambil kedua ibunya dipakai istri
(dipakai permasuri). Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh
manusia”.
 
Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu Sang
Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang ditujukan kepada
sang Watugunung, sabda beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati
dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila
itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu
kandung), mengambil ”babu sodaran,, mengambil tumin temen, kewaulan, babu
dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”. Semua
yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang
melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh
rakyat batara Yama pada alam neraka. Apabila kelak menjelma agar dalam
kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”. Demikian kutuk Sang Hyang
Tri Purusa.
 
Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung
melakukan pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas
kepala sang Watugunung yang besar itu. Saat asyiknya mencari kutu sambil
menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika melipat-lipat rambut yang kurang
teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada
kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Maka teringatlah beliau dengan
perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putrany dengan sodo (siut)
sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam
hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang
dipakai suami adalah putranya sendiri. Karena kedua pasang tangan istrinya
menjadi agak lemas dan percakapan kecil seketika menjadi hening. Dalam
keheningan itu sang Watugunung bertanya kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda
kenapa diam seketika apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda
mengetahui hal itu”. Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa
sesak, akhirnya menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami
berdiam karena karena kami ngerempini (ngidam)”.
 
Sang Watugunung balik bertanya:
”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda idamkan katakanlah! :Kakanda yang
terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada
permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah permaisuri beliau menjawab. “Sangat
sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua
mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”. Ya kalau
demikian kanda bersedia untuk mencarinya”.
 
Sang Watugunung mulai memusatkan
pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya
tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh. Sang Watugunung turun ke
lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh Aribuana: Ah-ahih-ih apa
maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan. Sang Watugunung menjawab: “Aum Batara,
adapun kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Batara
adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Batara izinkan”.
Apa yang kau sebutkan itu memang benar” jawab Sang Hyang Wisnu.
 
Kalau memang benar hal tersebut
sekarang permintaanku adalah, jika engkau memang mencintai diriku, saya mohon
permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera” Sang
Hyang Wisnu segera menjawab”  “Oh
permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh
meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan,
senjata dan lain-lainnya”.
 
“Jika demikian halnya Dewa Wisnu
berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah
mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau
kamu berikan istrimu engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah
engkau”. Sang Watugunung sangat marah.
 
“Aum, seperti apa yang kamu katakan,
kalau aku tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”. 
 
“Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita
berperang. Apakah kamu berani? katakan” Bertambah-tambah marahlah sang
Watugunung, kata-katanya kasar. Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera
menjawab: kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak
memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak
wajar)”. 
 
Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian
pula Sang Hyang Ari, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar
mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan garangnya. Tujuh puluh yuga
lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya,
dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan,
rupanya seperti api berkobar-kobar menyala. Sang Hyang Wisnu juga memurti
(membesar wujutnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam
(suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura
itu, besar badannya. Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa,
tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati
dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
 
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badwang (Kurma),
yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Bagaikan gelombang laut yang
murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya.
Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua, apakah kiranya
yang terjadi sehingga terjadi getaran-getaran yang hebat”. Coba katakan!
 
Bhagawan Narada menjawab: ”Seperti apa yang batara
katakan, hal itu terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang tidak
wajar, tidak lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang
Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan
si Watugunung amat berdosa.
 
Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang
Watugunung dikutuk oleh Batara Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung
mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang
dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh
kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.
 
Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari
berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma
perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam
dengan cakra. Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya.
 
Berkatalah sang Watugunung: ”Ih Hyang Wisnu
sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan
henti-hentinya bermusuhan dengan diriu, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh
aku tidak akan melupakan hal ini. Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu,
tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah!
 
Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di
Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana
akan menjelma nanti?
 
Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih
Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja
Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya
meninggallah sang Watugunung. Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung
yang termuat dalam lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b.
 
Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat
dalam majalah Bhagawanagara, disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan
dengan jalan cerita yang agak berbeda seperti di bawah ini.
 
Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta permaisuri sang Hyang
Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang
Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari. Setelah surat itu
dibawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang Watugunung untuk
bertempur.
 
Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang
mengakibatkan sang Watugunung menjadi marah, segera memerintahkan memukul
kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke
surga. Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua
pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan
Watugunung.
 
Diceritakan sang Watugunung sedang berada ditempat
tidur disertai oleh kedua orang permaisurinya.Istri sang Watugunung menanyakan
kejadian peperangan yang telah terjadi dan juga menanyakan hal tersebut sang
Watugunung berkata: ”Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain
(awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para dewa,
bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia.
 
Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang
sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah
yang dapat membunuh diriku”. Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan
Lumanglah yang sedang dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang
segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan
Watugunung.
 
Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga),
Dewa Wisnu sudah berwujud kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang
dan sangat kuat, segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung. Saat
itu adalah Radite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang
Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). Itulah
sebabnya disebut”Watugunung mati terbunuh oleh Batara Wisnu, hari kematiannya
ini dinamai ”Candung Watang”.
 
Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya
mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari
”paid-paidan”. Hari Buda Pon datanglah Bhagawan Buda, sang Watugunung
dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh
Batara Wisnu, hari itu disebut Buda Urip.
 
Hari Wraspati datanglah Bhagawan Wraspati dengan
rasa kasihan benar kepada sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi
sebentar, kemudian dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
Pada hari Jumat Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan
turunlah beliau untuk menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya disebut
dengan Pangredanan.
 
Saat itu datanglah Batara Wisnu hendak membunuhnya
kembali namun dapat dicegah oleh Batara Siwa, sabdanya: ”Hai anakku, janganlah 
hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah
untuk hari-hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan
atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Batara Wisnu, sabdanya: ”Yang
Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan
memperistri ibunya sendiri”. Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah
bersuami dan memperistri ibunya sendiri”. Batara Wisnu pun mengutuk sang
Watugunung, sabdanya: ”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh). Jawaban sang
Watugunung: ”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba
jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari
panas terik, agar hamba tidak kedinginan. Permohonan sang Watugunung semua
dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban
dalam pertempuran itu dihidupkan kembali.
 
Kiranya cerita yang serupa dengan ini juga ada di
daerah lain atau negara lain. Di Sunda (jawa barat) juga ada mitologi seperti
mitologi Watugunung di atas, yang dinamai Sangkuriang.
 
Demikian pula di Yunani juga ada yang disebut
mitologi Oedipus. Pokok isi dari mitologi itu adalah karena tidak tau sang
Watugunung, Sangkuriang, Oedipus memperistri ibunya sendiri, tetapi di sana-
sini ada perbedaan yang menunjukkan kepribadian bangsa dan sesuai dengan
tempatnya mitologi itu berkembang.
 
source: hindu-dharma 

Minggu, 02 Oktober 2011

Pan Balang Tamak


Cerita 
Pan Balang Tamak 

Merupakan cerita yang sedikit berbau jenaka dan mengandung nilai-nilai luhur dalam pergaulan hidup di Bali mengenai tatanan masyarakat sebagai makhluk social. Di Bali sendiri tatanan 
masyarakat diatur dalam adat yang terkandung menjadi satu wadah yaitu Desa Pekraman. Pada Desa Pekraman sendiri kemudian dibagi lagi dalam kelompok-kelompok masyarakat yaitu, Banjar. Dibawah Banjar ada lagi namanya Tempek. Tempek akan terwujud jika anggota Banjar melebihi kapasitas dari control perangkat Banjar atau rumah-rumah tiap kepala keluarga terlalu jauh dari Banjar. Setiap kelompok masyarakat baik Banjar maupun Tempek memliki seorang kepala yang dinamakan ‘Kelihan’ dan dengan perkembangan waktu terjadi perubahan fonem dalam pengucapan sebuatan ini sehingga menjadi ‘Kelian’. ‘Kelian’ berarti yang tertua (Kelih) yang memliki filosofi menjadi terdepat dan pemimipin dalam sebuah kelompok. Dalam tatan social ber-Banjar di Bali tentu sangat memliki tantangan dalam mengatur sekian kepal keluarga dengan segudang 
aturan adat yang menumpuk. Sehingga untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab sebagai makhlu social terciptalah cerita pergaulan Pan Balang tamak

Cerita Pan Balang Tamak dapat dikupas dalam Tarot Bali ini karena memliki nilai yang bisa dijabarkan sebagai kombinasi ritual dan adat. Pan Balang Tamak secara harfiah dapat dijabarkan dari 
kata : Pan yang berarti Bapa atau Bapak. Balang diambil dari filosofi Belalang atau di Bali disebut Balang yang memliki makna cekatan dan cerdik seperti Belalang. 
Tamak berarti rakus atau sifat negative yang lebih mementingkan ke-egoisan sendiri. Ceritanya dikupas kembali sebagai berikut, 
Diceritakan di Bali hiduplah seorang yang bernama Pan Balang Tamak. Suatu ketika di banjar diadakan kerja bakti membersihkan banjar karena banjar akan dipakai sebagai tempat upacara adat. Arah-arahan dari Kelihan (Kelian) pada masyarakat adalah : “Kepada para kepala keluarga diharapkan hadir ke Bale Banjar besok pagi ketika ‘siap’ (ayam) sudah turun dari ‘bembengannya’ (tempat keraman ayam dari jerami atau alang-alang bentuknya bundar dan diwadahi ‘kise’ yang terbuat dari ‘slepan’/daun janur yang sudah tua yang berwarna hijau tua) (karena akan diadakan pembersihan di areal banjar untuk keperluan upacara adat. Diharapkan masyrakat untuk membawa alat-alat kebersihan seperti ‘taah’ (cangkul kecil), ‘arit’ (sabit) atau ‘sampat’ (sapu). Jika tidak membawa akan dikenakan denda sebesar ‘limang gobang’ (lima gobang, gobang merupakan mata uang Bali pada masa kerajaan Bali Kuna)”. Demikian arah-arahan dari kelian kepada krama (masyarakat banjar). Mendengar arah-arahan demikian Pan Balang Tamak kalang kabut karena dia sama sekali tidak memliki alat-alat pembersihan. Maka munculah akal cerdik dari Sang Pan Balang Tamak. Pada malam hari ke Bale Banjar untuk menaruh ‘jaje uli selem’ (jajanan tepung ketan hitam) ‘dikepel-kepel’ (digenggam) dibentuk seperti tahi anjing dan dicipratkan sedikit air. Setelah mengerjakan idenya itu maka pulanglag dia menuju rumah sembari menunggu keesokan harinya. 

Keesokan harinya ketika ayam sudah turun dari keramannya Sang Pan Balang Tamak pun ‘tedun’ (turun) ke Banjar untuk melaksanakan arah-arahan kelian. Sampai disana para krama sudah bersiap-siap untuk melakukan kegiatan pembersihan lengkap dengan arah-arahan membawa alat-alat pembersihan. Namun krama sempat tekaget-kaget karena bale banjar sangat banyak tahi anjing berserakan. Namun Sang Pan Balang Tamak dengan gagahnya dia datang dengan tangan kosong. Keadaan ini membuat Sang Kelian Banjar geram dan bertanya : “Mengapa kamu tidak membawa alat pembersihan Pan”?? Pan Balang Tamak pun menyahut : “Maaf jero saya tidak membawa alat, tapi saya punya tawaran jika saya bisa membersihkan tahi ini saya harap saya tidak dikenakan Denda dan dapat bayaran uang limang gobang”. Kemudian Pan Balang Tamak melakukan arah-arahan : “ Barang siapa yang bisa memakan tahi ini akan saya kasi uang limang gobang dua kali lipat, tapi jika saya bisa memakan ini semua krama yang ada sekarang memberi saya uang lima gobang dan bebas denda”. Mendengar hal demikian membuat semua krama geli akan arahan tersebut dan tidak bersedia untuk melakukannya. Tapi Pan Balang Tamak dengan mudahnya dia memakan kotoran ‘jadi-jadiannya’ . Akhirnya terpaksa krama banjar mebayar dia. Kena sudah tipu daya krama banjar tahap satu oleh Pan Balang Tamak

Pada suatu ketika di bulan berburu ada amanat dari kerjaan oleh raja Anak Agung bahwa banjar Pan Balng Tamak mendapat giliran ‘meboros’ (berburu). Maka segeralah kelian banjar melakukan arah-arahan kepada kramanya : “Besok setelah turun ayam dari keraman diharapkan krama berkumpul di bale banjar dengan membawa anjing galak untuk berburu ke ‘alase’ (hutan)”. 
Keesokan harinya, Pan Balang Tamak sudah bangun pagi-pagi akan tetapi ayamnya belum turun dari keraman. Sampai sore hari barulah ayamnya turun dari keraman. Bergegaslah ia dan anjingnya yang kurus kering berburu menyusul krama yang sudah mendahului dari pagi berburu. Setelah sampai di hutan para krama sudah mau bergegas pulang dengan hasil buruan masing-masing seperti ‘kidang’ (kijang), ‘celeng alas’ (babi hutan). Melihat Pan Balang Tamak baru saja datang, kelian banjar langsung mengeluarkan buku denda untuk mencatat Sang Pan Balang Tamak. Tapi, Pan Balang Tamak berontak dan berkata : “Tunggu dulu jero, saya kan tidak ada salah mengapa didenda??” Kemarin kan arah arahan dari kelian harus datang pas ayam turun dari keraman dan ayam saya turun baru sore tadi. Jadi saya tidak salah kan???”. Mendengar hal itu Sang Kelian Banjar menyahut membalas “Iah memang benar demikia tapi km tidak membawa anjing yang galak untuk ‘meboros’. Sehingga km harus didenda karena hanya membawa anjing kurus kering.” Kemudian Pan Balng Tamak menyangkal : “Eittt,,,,,eittt tunggu dulu Jero, tiang malah membawa anjing yang paling galak di desa kita”. Lihatlah saudara-saudara sapa yang berani anjingnya di buang ke ‘dui nget-nget’ (phon berduri sejenis kaktus liar)”. Mendengar celoteh itu tentu para krama termasuk kelian tidak tega anjingnya ditaruh disana. Dan tanpa pikir panjang, Sang Pan Balang Tamak membuang anjing disana dan seketika itu juga anjingnya meraung keras dengan lolongan anjingnya. Hal demikian berarti anjingnya galak dan Pan Balang Tamak pun tidak dikenai denda sepeserpun. Kembali krama banjar dikelabui oleh akal bulus Sang Pan Balang Tamak
Cerita kecurangan Pan Balang Tamak dalam bermasyarakat terdengar sampai di telinga Anake Agung (raja kala 
itu). Dan membuat sang raja panas hati. Seketika itu saja Sang Raja mengutus Sang Kelian dan perangkatnya untuk berembuk dan menyusun 
strategi untuk menyingkirkan Pan Balang Tamak. Terdapatlah ide dari raja yaitu dengan meracuni Sang Pan Balang Tamak pada pesta istana. 
Singkat cerita Sang Pan Balang Tamak beserta perangkat banjar diundang makan ke istana Anake Agung. Disana makanan terlezat di sejagat Bali dihidangkan membuat Sang Pan Balang Tamak kelaparan dan bernafsu. Maka dimulailah santap makan. Setelah selesai makan dan bercakap-cakap dengan raja, baru Sang Pan Balng Tamak menyadari ada yang ganjil kenapa saya diundang makan pada hari yang tidak ada special. Ternyata setelah dipikir kemungkinan saya diracun. Setelah selesai makan dan santap saji, maka Sang Pan Balang Tamak pun berpamitan pulang. Sesampai diruma, Sang Pan Balang Tamak berpesan pada istrinya : “Istriku,,, aku tidak lama lagi akan meninggal karena diracun di istana. Aku mohon setelah aku meninggal tolong mayatku jangan dikubur dulu, cukup dimandikan dan dirias dengan kain putih seperti busana pemangku yang serba putih lengkap dengan genta dan taruh aku di “Palinggih Hyang Guru di Sanggah’ (Bagian dari Sanggah=Pura lingkup kecil untuk memuja leluhur) dalam posisi duduk bersila dan diatasku tolong diikat ‘tabuan 
simbar’ (lebah hitam). Kemudian setelah satu hari dan menjelang sore tempatkan aku dalam peti dan taruh di kamarku. Dan pada malam itu tolong jangan km bangun atau berkeliaran dirumah baik didalam maupun halaman”. Demikianlah hal yang diucapakan Pan Balang Tamak kepada istrinya. Dan ternyata sesaat kemudian Sang Pan Balang Tamak perutnya sakit dan meninggal seketika. Mulailah amanat sang suami dijalankan oleh istrinya. Keesokan harinya krama banjar tersentak kaget kenapa Sang Pan Balang Tamak tidak meninggal juga dan malah menjadi suci dengan mengucapakan ‘Weda Mantram’ di Sanggah. Padahal jika dilihat seksama ucapan Weda Mantram tersebut hanyalah bunyi sayap ‘tabuan simbar’ yang digantung diatas kepalanya. Melihat hal itu, kelian banjar segera melapor pada Anake Agung bahwa Pan Balang Tamak masih hidup. Mendengar laporan tersebut membuat sang raja kaget, dan berucap : “Kenapa dia 
masih hidup padahal ‘cetik’ (racun) yang kukasi dalam makanannya adalah yang paling hebat???”. Tanpa pikir panjang sang baginda raja mencoba racunnya sendiri, dan apa daya ternyata seketika itu juga meninggal akibat rasa penasarannya yang kurang ‘wiweka’ (sikap hati-hati dan mawas diri). Kontan kematian Sang Raja menyebar kepelosok Bali akibat cetiknya sendiri. Inilah tipu daya Sang Pan Balng Tamak meskipun sudah meninggal masih bisa membalaskan dendamnya kepada sang raja secara tidak langsung. 
Kembali kerumah Sang Pan Balang Tamak, setelah hari menjelang sore mayatnya dipindahkan dari Sanggah ke peti oleh istrinya dan ditaruh di kamarnya. Malam harinya, rumah Sang Pan Balang Tamak disatroni oleh dua maling. Mereka mengendap-ngendap menuju kamar Sang 
Pan Balang Tamak. Disana dlihatlah peti besar dan maling itu berkata : “Wahh ,, besar sekali peti ini, mungkin ini peti harta karun Sang Pan Balang Tamak mari kita angkut!!!” Bergegaslah para maling untuk membawa peti itu. Dengan tergopoh-gopoh para kedua maling itu kaget kenapa kog peti ini berat sekali ,? Mungkin isinya banyak potongan emas batangan dan uang gobang itu piker mereka. Tanpa berfikir lagi disikatlah peti tersebut dan sampai di Pura Dalem Desa mereka berhenti. “Kog ada bau busuk yagh??’ Tanya salah satu maling ke temannya” Aku tak tahu mungkin ada bangkai ayam mungkin”. “Disini saja kita buka peti ini, tak mungkin ada orang semalam ini ke Pura Dalem yang gelap seperti ini dan hasilnya kita bagi dua”. Sahut maling kesalah satu temannya. 
Setelah sampai di palinggih Pura Dalem mereka kemudian membuka peti tersebut dan dengan sontak kedua maling tersebut berteriak : “…….Pan Balang Tamak mayatnya…….”!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 
Seketika itu juga para maling lari terbirit-birit ketakutan dan dibiarkanlah peti itu tertutup lagi dan ditinggalkan tanpa sengaja oleh para maling tersbut. Keesokan paginya yang cerah di Pura Dalem dengan hawa digin yang sejuk dan bunyi burung-burung berkicau indah meramaikan Susana pagi itu. Datanglah sang pemangku pengempon Pura 
Dalem tersebut untuk melakukan ‘penyapuhan’ (pembersihan halaman pura) dan ‘surya sewana’ (pemujaan bagi para penedeta Hindu di pagi hari yang ditujukan kepada Dewa Surya). Setelah sampai di ’jeroan’ Pura, sanag pemangku kaget karena ada peti besar di palinggig Ida Bhatara Dalem. 
Sontak sang pemangku berteriak “Ida Betara Turun Kabeh”!!!! (Sang Dewa/Tuhan Turun Ke Bumi). Kemudian sang pemangku melapor ke kelian banjar, seketika itu juga seluruh karama banjar di desa tersebut berduyun-duyun ke Pura Dalem untuk melakuakn persembahnyangan. Sampai disana para krama menutup hidung karena areal Pura Dalem dipenuhi dengan bau busuk. Sambil mentup hidung para krama dan pemangku melakukan pengastawa panca sembah. Selesai melakukan pancasembah sampai ‘nunas’ (minta anugerah) ‘tirtha’ (air suci). Kemudian dibukalah peti tersebut apa isinya. Dan semua kaget karena isi peti adalah mayat Sang 
Pan Balang Tamak yang tiada lain dalah salah satu krama dari mereka yang ‘medaya corah’ (licik) semasa hidupnya hingga matipun masih bisa mengelabui masyarakat banjar dan desa. Atas usul pemangkuke perangkat banjar sebaiknya mayatnya dikubur saja. Seketika hari itu juga mayatnya dikubur. 
Pan Balang Tamak Pan Balang Tamak dari hidup samapi matipun kamu masih bisa berbuat ‘daya’ kepada masyarakat” 
Ckckckckckckckckck….. Sahut salah satu dari mereka. 
Hikmah dari cerita ini adalah hendaknya kita sebagai masyarakat Bali senantiasa melakukan kebaikan dan jujur dalam bermasyrakat dan tidak licik sebagai makhluk social.


Sabtu, 24 September 2011

Rumah Adat Bali


Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
1. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
2. Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
3. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
A Landasan Filosofis, Etis. dan Ritual
A.1. Landasan filosofis.
1.1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
1.2. Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
A.2. Landasan Etis
2.1. Tata Nilai.
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
2.2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
A.3. Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
B. Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1. Keseimbangan alam
2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3. Tri Angga dan Tri Mandala.
4. Harmonisasi dengan lingkungan.
5. Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
6. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
7. Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
8. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
C. Pemilihan Tanah Pekarangan.
1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
2.1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
2.3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
2.4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
2.5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
2.6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
2.7. karang tenget,
2.8. karang buta salah wetu,
2.9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
2.10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
2.11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
4. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
C.1. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
C.2. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
C.3. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
D. Dewasa Membangun Rumah.
D.1. Dewasa Ngeruwak :
Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
D.2. Nasarin :
Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
D.3. Nguwangun
Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
D.4. Mengatapi
Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
D.5. Memakuh/ Melaspas
Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
e. Upacara Membangun Rumah.
e.1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
e.2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
e..3. Upakara Pemelaspas.
Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara
e.4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.

Kamis, 22 September 2011

Hari Siwaratri


Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga.
Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya).
Sebenernya Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa..tp malam penyadaran dosa..kenapa??
  1. Siwaratri artinya Siwa = Tuhan/ Bhatara Siwa; ratri = malam. Atau malamnya Bhatara Siwa/ Tuhan, saat yang tepat bagi manusia untuk merenungi kehidupan di masa lampau serta sadar/ eling pada dosa-dosa yang terlanjur, baik sengaja atau tidak sengaja telah terjadi. Kemudian berjanji dan menguatkan tekad untuk tidak mengulangi dosa. Demikian halnya dengan kisah Lubhdaka di mana setelah siwaratri dia tidak lagi berbuat dosa.
  2. Dosa manusia tidak dapat dihapus/ dilebur, dan harus dipertanggungjawabkan oleh roh/ atman kepada Bhatara Yamadipati (Tuhan) di saat ‘mantuk ke sunia’. Namun demikian, dosa dapat diimbangi dengan perbuatan dharma. Ibarat sinar matahari yang tetap terik, namun bila ada angin segar berhembus atau matahari tertutup mega, maka sinarnya yang panas tidak terasa.
  3. Kesadaran itulah yang perlu ditumbuhkan di saat melakukan brata siwaratri.
Siwaratri juga dikaitkan dengan cerita yang klo ditafsirkan sembarangan, bisa ditafsirkan Siwaratri sebagai malam penebusan dosa..Cerita siwaratri dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam siwaratri, dewa siwa sebagai manifestasi tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama lubdaka kemalaman di hutan dan akhirnya menginap. agar tidak dimakan binatang buas, si lubdaka naik ke pohon dan agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya. Dewa siwa konon sangat senang karena lubdaka terjaga dan ‘menemani’ dewa siwa melakukan yoga. maka ketika lubdaka meninggal, saat lembaga yudikatif kahyangan, dalam hal ini dewa yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara sorga yang dikirim oleh dewa siwa, dan membawa lubdaka ke sorga. padahal, dewa yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi pemburu adalah dosa, membunuhi binatang2 tak berdosa demi kesenangan. sementara, dewa siwa sudah terlanjur ‘sayang’ dengan lubdaka yang menemaninya suatu malam beryoga, sehingga melakukan intervensi pada putusan lembaga yudikatif kahyangan pimpinan dewa yama.
Apa aja sih yang harus qt lakuin waktu Siwaratri??Yup..Brata Siwaratri..
Brata Siwarâtri terdiri dari:
Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
Nista, hanya melaksanakan:
1. Jagra.
Monabrata berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai malam (12 jam).
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).

cerita mengenai Hari Siwaratri : Lubdaka

Cerita Lubdaka

Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di suatu desa menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang kebutuhan keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.
Hari itu  Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh pikirnya kenapa hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan berburu digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampe aku pulang gak membawa hasil buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?, semangatnya semakin tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari binatang buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan, hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah cukup larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam gelapnya malam guna menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan situasi ini. Tak perlu lama baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya, sebuah dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas kiranya akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia dapat bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya, tersembunyikan dengan rapi di antara rerimbunan yang gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang diberikan oleh tempat yang telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan jatuh tentu binatang buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan badannya bisa lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang yang dalam persembunyian. Namun nyatanya, badan ini bergerak tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau sedesah napas panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya yang rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang terjatuh ke mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia tak dapat memikirkan apapun. Beberapa saat kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan bayang gelombang yang semakin tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin menatap. Ia memperhatikan dirinya, bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan ketakutannya, setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Lubdaka – si pemburu, kini menjadi pemetik daun, guna menyelamatkan hidupnya. Ia memperhatikan setiap kali riak gelombang terbentuk di permukaan air akan selalu riak balik, mereka saling berbenturan, kemudian menghilang kembali. Hal yang sama berulang, ketika setiap kali daun dijatuhkan ke atas permukaan air, sebelumnya ia melihat itu sepintas lalu setiap kali ia berburu, baru kali ia mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa gerak ini, gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali, ketika ia berburu, yang selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si mara bahaya, namun tak sekalipun ia sempat memperhatikan hal-hal sederhana yang ia lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di rumahnya, ada keluarga yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya bisa berburu, itulah kehidupannya, itulah keberadaannya.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya… sesaat ia menyadari bahwa hidup ini seakan berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu sbuk lari dari si kematian, ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan menyambanginya, ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak tahu apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang pemburu, dan aturan moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia melihat, bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini, adalah identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan penuh, kenapa ia tak menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah terlalu menyita perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat ini, biasanya ia telah terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan srigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara tiba-tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka tahu, pikirannya berkata bahwa jika ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya untuk menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali di ufuk Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan pikirannya. Walau ia dapat memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat ke beberapa skenario kemungkinan kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu. Beberapa saat kemudian, ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa suara serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu ketakutan sehingga sekali lagi tak memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun tersenyum sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat sesuatu dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia sebut ketakutan. Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya, sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa hewan buas, bahkan ia takut jika tempat persembunyiannya disadari oleh hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini, karena takut akan tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan memberikan padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya ke mata air, namun secara tak sadar oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar bahwa tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu, di sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas sesuatu pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya kini mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa bersuara untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak atau menangis kesakitan, ia hanya … hanya mati, dan itulah apa yang si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang menjerit kesakitan ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang timbul dari pengalamannya akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat bentuk kematian di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk ke dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun semua yang ia temukan hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang begitu banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata kecuali bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu kematian, yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu menggangguku, aku tak memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua itu, kini ia telah membebaskan dirnya dari ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati itu dari genggamanannya, dan jatuh dengan begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga semadi. Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan dibebaskan dari ikatan karma oleh Siva.
Ufuk Timur mulai menunjukkan pijar kemerahan, Lubdaka memandangnya dari celah-celah dedaunan hutan, dalam semalam ia telah melihat begitu banyak hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kini ia telah berkenalan dengan kehidupan dan melepas ketakutan-ketakutannya, ia telah mulai mengenal semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening, sehingga ia bisa merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi keluarganya. Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul dalam dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa)  salam  Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri).
Di malam Siva Ratri ada tiga brata yang harus dilakukan:
1. Mona: Tidak Berbicara
2. Jagra: Tidak Tidur
3. Upavasa: Tidak Makan dan Minum
Siva Ratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.

Upacara dalam Kandungan sampai Dewasa

Yadnya terdiri dari 5 macam yang biasa disebut Panca Yadnya, yaitu :
  • Dewa Yadnya : Upacara suci yang dipersembahkan untuk dewa-dewi, Tuhan Yang Maha Esa.
  • Bhuta Yadnya : Upacara suci yang dilakukan untuk menyucikan alam beserta isinya.
  • Manusa Yadnya: Upacara suci yang dilakukan pada manusia.
  • Pitra Yadnya : Upacara suci yang dipersembahkan kepada roh leluhur.
  • Rsi Yadnya : Upacara suci yang dilakukan untuk para orang suci umat Hindu.
Masing-masing Yadnya tersebut memilik bagian-bagian lagi. Untuk upacara yang termasuk Manusa Yadnya mulai dari Megedong-Gedongan, Otonan, Tiga Bulanan, Metatah (potong gigi), Pawiwahan (pernikahan) dan lainnya.
Sedangkan untuk jenis-jenis Upacara Manusa Yadnya, di antaranya ada beberapa yang penting yaitu :

a. Upacara Pagedong-gedongan
( Garbha Wedana atau Upacara Bayi dalam Kandungan )
Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Hyang Widhi agar bayi yang ada di dalam kandungan itu di berkahi kebersihan secara lahir bathin. Demikian pula ibu beserta bayinya ada dalam keadaan selamat dan dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat serta dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara semasih bayi ada di dalam kan-dungan, agar harapan tersebut dapat berhasil, maka si ibu yang sedang hammil perlu melakukan pantangan-pantangan terhadap perbuatan atau perkataan-perkataan yang kurang baik dan sebaliknya mendengarkan nasehat-nasehat serta membaca membaca buku-buku wiracarita atau buku lain yang mengandung pendidikan yang bersifat positif. Sebab tingkah laku dan kegemaran si ibu di waktu hamil akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam kandungan.

b. Upacara Bayi Lahir.
Upacara ini merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta angayu Bagia atas kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi tetap selamat serta sehat walafiat. Pada saat bayi lahir, yang perlu juga di perhatikan adalah upacara perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci dengan air bersih atau air kumkuman, kemudian di masukkan ke dalam sebutir kelapa yang di belah dua dengan Ongkara ( pada bagian atas ) dan Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut di bungkus dengan kain putih kemudian di pendam ( di tanam ) di muka pintu rumah ( yang laki di sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri ). Setelah di tanam pada bagian atasnya hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan tujuan untuk menolak gangguan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.

c. Upacara Kepus Puser.
Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan. Setelah puser itu putus maka puser tersebut di bungkus dengan secarik kain, lalu di masukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang di sertai dengan bumbu-bumbu dan kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai pelindung anak-anak.

d. Upacara Bayi berumur 42 hari
.
Upacara ini disebut juga upacara tutug kambuhan. Pada usia 42 hari bayi di buatkan upacara “ Macolongan “. Tujuannya adalah memohon pembersihan dari segala keletehan ( kekotoran dan noda ), terutama si ibu dan bayinya di beri tirtha pangklutan pabersihan, sehingga si ibu dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Pura, Merajan dan sebagainya.

e. Upacara Nyambutin.
Upacara Nyambutin ini diadakan setelah bayi tersebut berumur 105 hari. Pada umur ini si bayi telah di anggap suatu permulaan untuk belajar duduk, sehingga di adakan upacara Nyambuitn di sertai dengan upacara “ Tuwun di pane “ dan mandi sebagai penyucia atas kelahirannya di dunia. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar jiwatman si bayi benar-benar kembali kepada raganya.


f. Upacara Satu Oton.
Upacara satu oton atau yang di sebut dengan Otonan ini di lakukan setelah bayi berumur 210 hari, dengan mempergunakan perhitungan pawukon. Upacara ini bertujuan agar segala keburukan dan kesalahan-kesalahan yang mungkin di bawa oleh si bayi dan semasa hidupnya terdahulu dapat di kurangi atau di tebus, sehingga kehidupan yang sekarang benar-benar merupakan kesempatan untuk memperbaiki serta meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan yang sempurna. Serangkaian pula dengan Upacara Otonan ini adalah upacara pemotongan rambut yang pertama kali, yang bertujuan untuk membersihkan ubun-ubun ( Ciwa Dwara ). Pelaksanaan upacara satu oton ini juga di maksudkan untuk memohon kehadapan Ibu Pertiwi agar ikut mengasuh si bayi sehingga si bayi tidak mendapatkan kesulitan, selamat dan tumbuh dengan sempurna. Untuk ini di adakan pula upacara turun tanah yang di injakkan untuk pertama kalinya di beri gambar bedawang nala sebagai lambang dasar dunia, sedangkan si bayi di tutupi dengan sangkar yang di sebut sudamala.

g. Upacara Meningkat Dewasa ( Munggah Daa ).

Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar yang bersangkutan di berikan petunjuk atau bimbingan secara gaib sehingga ia dapat mengendalikan diri dalam menghadapi masa pancaroba. Upacara ini pada umumnya di titikberatkan pada anak perempuan. Hal ini mungkin di sebabkan karena wanita di anggap kaum yang lemah serta lebih banyak menanggung akibat pertimbangan-pertimbangan. Di samping itu, menurut Hindu bahwa kaum wanita dapat di anggap sebagai barometer tingi rendah atau baik dan buruknya martabat dari suatu keluarga dan lain-lain.

h. Upacara Potong Gigi.
Upacara ini dapat di lakukan baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan yang sudah menginjak dewasa. Dalam Upacara potong gigi ini, maka gigi yang di potong ada 6 ( enam ) buah, yaitu empat buah gigi atas dan dua buah lagi gigi taring atas. Secara rohaniah pemotongan terhadap ke enam gigi tersebut merupakan simbolis untuk mengurangi ke enam sifat Sad Ripu yang sering menyesatkan dam menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan atau kesengsaraan. Sifat-sifat Sad Ripu yang di maksud adalah nafsu birahi, kemarahan, keserakahan, kemabukkan, kebingungan dan sifat iri hati. Tetapi secara lahiriah, pemotongan gigi itu dapat pula di anggap untuk memperoleh keindahan, kecantikan dan lain sebagainya. Pelaksanaan Upacara Potong gigi ini bertujuan, di samping agar yang bersangkutan kelak nanti setelah mati dapat bertemu dengan para leluhurnya dan bersatu dengan Hyang Widhi, juga agar yang bersangkutan selalu sukses dalam segala usaha, terhindar dari segala penyakit serta dapat mengendalikan diri dan mengusir kejahatan.

i. Upacara Perkawinan.
Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian, baik kehadapan Hyang Widhi Wasa maupun kepada mayarakat luas, bahwa kedua mempelai mengikat dan mengikrarkan diri sebagai pasangan suami istri yang sah. Di samping itu, di tinju dari segi rohaniah, upacara perkawinan ini merupakan pembersihan diri terhadap kedua orang mempelai, terutama terhadap benih atau bibit baik laki maupun perempuan ( Sukla dan Swanita ), apabila bertemu agar bebas dari pengaruh-pengaruh buruk sehingga dapat di harapkan atman yang akan menjelma adalah atman yang dapat memberi sinar dan mempunyai kelahiran yang baik dan sempurna. Upacara perkawinan, pada umumnya dapat di bagi atas dua bagian, yaitu Upacara Makala-kalaan dan Natab. Upacara Makala-kalaan sebagai rangkaian dari upacara perkawinan merupakan kebahagiaan tersendiri, karena secara Samskara kedua mempelai ini di hadapkan kepada Hyang Widhi mohon pembersihan dan persaksian atas upacara yang di laksanakan. Sedangkan upacara Natab bertujuan untuk meningkatkan pembersihan, memberi bimbingan hidup dan menentukan status kedua mempelai.

Sabtu, 05 Maret 2011

Panca Sradha



Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu berkembang di sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
  1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
  2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
  3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama
Di dalam ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut               “ Panca Sradha “.

  1. PEMBAGIAN PANCA SRADHA
Panca Sradha terdiri dari :
  1. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi
  2. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman
  3. Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala
  4. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali
  5. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rokhani.
Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha yang mantap. Seseorang yang sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang Pawang. Mengapa ketakutan itu bisa terjadi ?
Tidak lain karena anak kecil itu belum mempunyai kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan ketenangan


PENJELASAN MASING – MASING BAGIAN PANCA SRADHA
    1. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi )
    Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua yang ada. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “
    Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta  ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.
    Agama Hindu mengajarkan bahwa Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :

    a. Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan : “ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna

                        Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :
      “  Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit “ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
                           Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “
        “ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.
                      
                      Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan :
          Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya berbeda – beda tetapi  satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
          Dengan pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan mengakui dan percaya adanya satu Hyang Widhi.
          Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud ) 
          Widhi Tatwa yang merupakan salah satu bagian dari panca saradha, yang menyatakan bahwa umat Hindu percaya dan yakin dengan adanya Tuhan, hal ini dapat di yakini dengan melalui cara-cara yang di sebut Tri Pramana yang berarti tiga cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan,atau cara bagaimana umat Hindu menjadi tahu tentang adanya sesuatu, dalah hal ini yaitu Brahman atau Tuhan.Ada pun bagian dari Tri Pramana adalah :
          1. Kepercayaan Umat Hindu terhadap adanya Brahman didasarkan pada kenyataan, Dinana para maharesi secara nyata dan jelas dapat menerima dan mendengar wahyu Tuhan, orang suci atau maharesi langsung menerima wahyu Tuhan yang di sebut sebagai Pratyaksa Pramana.
          2. Kepercayaan Umat Hindu terhadap adanya Brahman didasarkan pada logika atau gejala alam atau rahasia alam yang tidak dapat terpecahkan oleh manusia. Maka berdasarkan logika pasti ada penyebab atau sumber dari gejala keanehan alam raya ini,prnyebab atau sumber tersebut tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang di sebut sebagai Anumana Pramana.
          3. Kepercayaan Umat Hindu terhadap adanya Brahman didasarkan pada pemberitahuan orang lain yang di percaya atau berdasarkan ajaran agama atau Kitab Suci Veda. Dengan dasar ajaran Agama umat Hindu percaya dengan adanya Tuhan. hal ini yang disebut Agama Pramana.
          Ada pun sifat-sifat Brahman antara lain :
          1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau
          Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
          2. Cit: sebagai Maha Tahu
          Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.
          3. Ananda
          Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.
          Dalam Kitab Suci Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya ada satu Beliau maha besar maha tahu dan ada dimana-mana yang menjadi sumber dari segala yang ada di alam raya ini.Tetapi dalam manisfestasinya atau perwujudannya sebagai Tri Murti, Tuhan yang hanya stu di percaya mempunyai Tiga wujud kekuatan. Tri yang berarti Tiga dan Mukti yang berarti perwujudan, Tiga kekuatan atau kebesaran itu yang di maksu adalah :
          1. Tuhan sebagai maha Pencipta,dalam wujudnya sebagai pencipta Tuhan di beri nama Dewa Brahma,dikatakan sebagai maha pencipta karena Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, Dewa Brahma di simbolkan dengan aksara suci A (Ang)
          2. Tuhan sebagai maha pemelihara, Tuhan sebagai pemelihara yang melindungi segala ciptaanNya dalam manisestasinya sebagai pemelihara Umat Hindu menyebut Tuhan sebagai Dewa Wisnu, dan disimbolkan dengan aksara suci U (ung)
          3. Tuhan sebagai maha pemrelina, pemreline berasal dari kata pralina yang berarti kembali pada asalnya, pemrelina berarti mengembalikan kepada asalny yang disebut juga sebagai pelebur, Tuhan sebagai pelebur umat Hindu menyebut Tuhan sebagai Dewa Siwa,dan disimbolkan dengan aksara suci M (Mang)


          2.Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma )
            Atma berasal dari  Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua mahluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma.
            Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria )
            Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “
            Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan  untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma.
            Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ). Dalm kitab Bhagadgita disebut sifat – sifat atma sebagai berikut :
            -  Achodyhya        artinya tak terlukai oleh senjata
            -  Adahya              artinya tak terbakar oleh api
            -  Akledya             artinya tak terkeringkan oleh angin
            -  Acesyah             artinya tak terbasah oleh air
            -  Nitya                  artinya abadi, kekal
            -  Sarwagatah        artinya  ada dimana – mana
            -  Sthanu                artinya tak berpindah – pindah
            -  Acala                  artinya tak bergerak
            -  Sanatana                        artinya selalu sama
            -  Adyakta             artinya  tak terlahirkan
            -  Achintya                        artinya tak terpikirkan
            -  Awikara             artinya tak berjenis kelamin
            Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
            Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “ ( bekas hasil perbuatan ). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam ) 

            3. Karma ( Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala )
              Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang.
              Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan  yang buruk atau Asubha karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
              Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama.
              Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
              -          Sancita karma phala
              Adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang terdahulu  baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula ( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara )
              -          Prarabda karma phala
              Adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalm hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu.
              Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat.
              -          Kriyamana karma phala
              Adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak diterima berupa kesengsaraan.
              Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia. 

              4. Samsara/Punarbhawa ( Percaya dengan adanya kehidupan kembali )
                Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia secara berulang – ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
                Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang ( wartamana ).
                Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.
                Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
                -          Pitra Yadnya
                Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
                -          Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.

                Hubungan Karmaphala dengan Punarbhawa

                Hukum karmaphala dan punarbhawa atau reinkarnasi mempunyai hubungan yang amat erat dan timbal balik, karmaphala merupakan hukum hasil perbuatan, bik buruknya perbuatan akan menentukan kuwalitas kelahiran manusia, demikian pula punarbhawa atau reinkarnasi akan berdampak bagi perbuatan seseorang. Dalam hal ini seseorang yang selalu berbuat baik dalam hidupnya dan bila dia meningal nanti maka rohnya akan mendapat tempat yang baik di akhirat atau di sorga. Dan bila dia lahir kembali atau berreinkarnasi lagi maka akan menjai hidup serba kecukupan dilingkungan orang baik-baik, tapi bila dalam kehidupan sekarang dia bertindak tidak baik maka setelah meninggal nanti rohnya akan masuk neraka, demikianlah subha dan asubhakarma yang menentukan hasil perbuatan atau karmaphala itu sangat mempengaruhi kehidupan jika kita mengalami punarbhawa dikelak kemudian hari.
                -          Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.

                5. Moksa ( Percaya dengan adanya kebahagiaan rokhani )
                  Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam kebahagiaan yang tiada tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.
                  Alm moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di dunia ini, keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa semasa masih hidup.
                  Moksa sering juga diartikan berstunya kembali atma dengan Parama Atma di alam Parama Siwa. Dialam ini tiada kesengsaraan, yang ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan dalam kehidupan di dunia ini ( Sukha tan pawali Duhka ).
                  Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan, maka dengan mudah dapat ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karatan maka sangat sukar dapat ditarik oleh magnet.
                  Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut ajaran agama Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “.
                  Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang terdiri dari :
                  -          Bhakti Marga ( jalan Bhakti )
                  -          Karma Marga( jalan Perbuatan )
                  -          Jnana Marga( Jalan Ilmu Pengetahuan )
                  -          Raja Marga ( Jalan Yoga )

                  Tingkatan moksa sesuai dengan kondisi atman dalam hubungannya dengan Tuhan
                  1. Sampya yaitu moksa yang di capai semasa masih hidup di dunia, yang dapat di capai oleh para maharesi pada waktu melaksanakan yoga samadhi, sehingga dapat menerima wahyu dari Tuhan.
                  2. Sarupya yaitu moksa yang di capai semasa masih hidup dimana kedudukan Atman mengatasi unsur-unsur maya, misalnya Budha, Kresna, Rama, dan Awatara-awatar yang lainnya.
                  3. Salokya yaitu moksa yang dicapai oleh Atman setelah berada dalam posisi kesadaran yang sama dengan Tuhan, tetapi belum bisa bersatu dengan Nya, dalam hal ini Atman telah mencapai tingkatan Dewa.
                  4. Sayujya yaitu pada tahapan ini dimana Atman telah bersatu dengan Brahman, seperti apa yang disebut Brahman Atman Aikyam atau Atman dengan Brahman satu atau talah bersatu.