Entah
kenapa pula, binatang menjijikkan yang biasa hidup di selokan kotor itu
mendapat nama terhormat sebagai “Jero Ketut”. “Ape madan Jelo Ketut,
kaki?” (Apa yang bernama Jero Ketut, kakek?) Tanya si cucu kepada
kakeknya, Nengah Diarta, di suatu pagi, ketika si kakek sedang asik
menghirup kopi hangat ditemani ketela rebus.
“Bikul!” (Tikus!) jawab si kakek ketus dengan nada kesal mengarah benci.
Bukan kepada cucunya yang baru belajar
ngomong ini, tetapi kepada tikus-tikus yang serakah, memakan apa saja,
dari hasil panen sampai kabel listrik, bahkan sepatu cucunya tak lepas
dari perhatian si tikus.
“Jani bikule gede-gede, bisa gedenan teken meong” (Sekarang tikus besar-besar, bisa lebih besar dari kucing) sambung si kakek.
“Ooo, ngon masi bane, ape ye tidike
teken bikule adi bisa keto, ulesne milu ngamah rabuk” (Iyaa, heran juga,
apa kiranya yang dimakan si tikus kok bisa besar segitu, mungkin turut
makan rabuk/ vertilizer) sambung dadong (nenek) Wayan, istri Nengah
Diarta.
“Sangkala ade dagang bakso nganggon be
bikul” (Makanya, ada dagang bakso keliling yang membuat bakso dari
daging tikus), Nengah Diarta menimpali sembari memasukkan potongan
ketela rebus ke mulutnya.
“Beh, adi beler gati dagange nto, saja
keto beli?” (Wah kok jahat sekali dagang bakso itu, benar demikian kak?)
dadong Wayan mengerenyitkan alisnya tanda heran.
“Yeh, sing maca koran?, taen ketara
dagang baksone sedeng nampah bikul” (Lho tidak baca koran? pernah
ketahuan seorang dagang bakso sedang membunuh tikus untuk diambil
dagingnya).
“Be, suud meli-meli bakso cu, len suba
misi formalin, buine be bikul anggone!” (Wah, jangan beli bakso lagi
cucu, mana sudah berisi formalin, lagian daging tikus yang dipakai
bakso!) sergah dadong Wayan sambil meraih cucunya kepangkuannya, tanda
melindungi cucunya tersayang.
“Yen galak-galak bikule, melaan kaukin
meonge nganggon gendingan: meong-meong alih je bikule, bikul gede-gede
buin mokoh-mokoh, kereng pisan ngerusuhin” (Kalau tikusnya galak,
sebaiknya panggil kucing dengan nyanyian: kucing-kucing tangkaplah si
tikus, tikus yang besar-besar dan gemuk, yang sering merusak), dadong
Wayan melantunkan lagu kepada si cucu sambil menimang-nimangnya.
Percakapan di pagi hari pada keluarga kecil yang hidup sederhana itu bagaikan kias keadaan kita di Indonesia.
Negara yang terkenal sebagai negara
terkorup nomor enam di dunia, memang banyak mempunyai tikus-tikus yang
besar dan gemuk, yaitu para koruptor yang hidup mewah melampaui batas
penghasilan sebagai pegawai negeri.
Kalau diperhatikan dengan seksama,
pejabat tertentu yang diperkirakan bergaji lima juta rupiah sebulan, kok
bisa hidup mewah, dengan rumah indah, mobil lebih dari dua, dan
anak-anak dewasa semua menggunakan handphone.
Hitung saja biaya rumah tangganya
sebulan; tidak kurang dari dua puluh juta sebulan. Nah dari mana
tambahan pendapatan sebesar lima belas juta itu? Kalau ada yang bertanya
biasa mendapat jawabannya: 1. Istrinya ada bisnis sesuatu. 2. Ada
warisan orang tua berupa sawah dan kebun di kampung.
Entah benar entah tidak, tetapi nyatanya
‘budaya’ korupsi sudah berurat-berakar pada kebanyakan pejabat negara,
tak pandang bulu apakah pejabat tinggi atau pejabat rendah. Orang
tua-tua di pedesan sudah maklum pada ‘tradisi’ sogok atau suap dalam
melamar pekerjaan di pemerintahan.
Mereka sudah memperhitungkan anggaran,
selain biaya sekolah, kuliah dan fasilitas belajar, juga harus
mempersiapkan dana sekurangnya lima puluh juta rupiah untuk nyogok atau
nyuap di waktu melamar pekerjaan.
Lebih besar sogokan atau suapan itu
lebih bagus, karena bisa memilih posisi yang lebih empuk. “Ne anggon
modal, buin pidan lakar ulihange teken panake yen ye suba megae” (Ini
sebagai modal, kelak akan dikembalikan oleh anakmu, jika sudah bekerja),
itu kalimat penjelasan dari suami kepada istri, dalam berbincang
tentang biaya besar untuk menjadikan anaknya pegawai negeri.
Para ‘kucing’ juga takut pada
tikus-tikus. Karena tikusnya lebih besar dan lebih galak, atau kucing
tidak ada selera memakan tikus. Kiasan bagi para pengawas, apapun nama
jabatannya, dari yang sederhana seperti polisi, jaksa, hakim, sampai
yang memakai nama keren-keren: “Satuan Pengawas Intern (SPI)”, “Direktur
Kepatuhan”, dan lain-lain.
Kalau ada yang berani dan ingin
bertindak jujur, kadang harus mengalami risiko fatal, dipindahtugaskan,
bahkan ada yang tertembak mati! Kasihan anak-istrinya.
Teringat kembali pada lagu anak-anak:
Meong-Meong, alih je bikule… , sepertinya para leluhur orang Bali tempo
dulu sudah meramalkan bahwa di suatu saat tatkala zaman Kali atau zaman
edan mencapai puncaknya, akan terjadi pembalikan fakta, misalnya kalau
dahulu tikus takut pada kucing, sekarang kucing takut pada tikus atau
paling tidak, kucing segan bahkan bersahabat dengan tikus.
Mungkin pula pengaruh film-film kartun
yang menggambarkan kucing selalu dibodohi oleh tikus, entahlah, tetapi
bagaimana pun juga tikus sejak dahulu di Bali diberi sebutan yang keren
dan berwibawa: “Jero Ketut” kenapa pula tidak nama yang lain misalnya
“Jero Wayan” atau “Jero Nyoman”, dll.
Tak ada yang bisa menjawab. Memang
begitu! Hanya bisa menebak-nebak, bahwa Ketut adalah nama depan anak
terkecil dalam satu keluarga, sedangkan Jero adalah predikat orang
terhormat. Jadi kira-kira Jero Ketut artinya anak terkecil yang
terhormat.
Bisa juga menjadi kias bagi seorang
pejabat dengan atribut gelar kesarjanaan, pangkat yang keren, penampilan
yang meyakinkan, tetapi tetap saja bermental rendah seperti tikus,
dalam artian memakan segalanya tanpa pikir panjang, namun tetap
kelihatan terhormat sebagai seorang Jero.
Dan, hati-hati berhadapan dengan Jero
Ketut, “beliau” harus diperlakukan lain dari yang lain, karena salah
perlakuan dapat berbahaya.
Misalnya kalau ingin menyogok atau
menyuap, kita harus tahu dengan pasti terlebih dahulu, berapa jumlah
sogokan atau suap itu, kapan waktunya yang tepat, dan bagaimana gaya
bahasa kita menyampaikan sogokan itu. Kalau salah, bisa saja kita yang
menyogok dituduh berbuat kriminal dan tentu saja tujuan menyogok tidak
tercapai.
Demikian pula si tikus dalam julukan
Jero Ketut, dari zaman dahulu di Bali tikus diperlakukan terhormat.
Kalau ingin menghilangkan hama tikus, dibuatlah upacara “nangluk merana”
biasanya pada bulan tilem sasih ka-enam (bulan gelap ke-enam).
Di beberapa daerah seperti di Tabanan,
pernah diadakan upacara pelebon bagi Jero Ketut alias pembakaran mayat
tikus. Tikus ramai-ramai diuber dan dibunuh, kemudian bangkainya dirawat
dengan baik dalam upacara ngaben, lengkap dengan sarana banten dan
tirta pengentas. Persis seperti upacara bagi manusia. Entah apa pedoman
Lontarnya, namun tujuannya tetap menghormati Jero Ketut.
Implementasi yang nyata dewasa ini
menjadi pertanyaan: sejalan dengan upacara nangluk merana, apakah para
koruptor itu perlu dihormati dan diistimewakan walaupun telah terbukti
bersalah dan dihukum penjara?
Jawabannya ternyata benar. Para koruptor
yang ada di penjara tetap mendapat perlakuan yang lebih istimewa
daripada pencuri ayam. Mereka bisa menempati kamar yang bersih, pakai
kasur empuk, pakai AC, ada kulkas, TV, dan koran setiap pagi.
Makanan pun yang lezat-lezat, bisa
dibawa dari rumah atau pesan di restoran melalui sipir. Di hari-hari
istimewa boleh “cuti” dari penjara untuk melepas rindu pada keluarga,
bersilaturahmi, atau ingin iseng ke hotel-hotel berbintang ditemani
pacar dadakan.
Ya, “budaya” kita harus selalu menghomati tikus. Makanya tak salah, di Bali tikus dinamakan “Jero Ketut”.
source: stitidharma