Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian
dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs
jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta
/ Panca Maha Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi
dalam:
·
Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup
keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga,
melanggar adat dll)
·
Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan
kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan
dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru
jenis madya
·
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap
umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan
sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah
sebagai berikut:
·
Timur = Purwa: ayam warna putih, dengan urip 5.
·
Selatan = Daksina: ayam warna merah (biing),
dengan urip 9.
·
Barat = Pascima: ayam warna kuning (putih
siungan) , dengan urip 7.
·
Utara = Uttara: ayam warna hitam (selem), dengan
urip 4.
·
Tengah = Madya: ayam warna brumbun, dengan urip
8.
Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata
caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut
caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk
mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya.
Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa
untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan
Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya
menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara
melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan
alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang
cantik.
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi)
artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit
artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan :
Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah
terwujudnya ‘Tri Hhita Karana’ yakni
1. keseimbangan
dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan),
2. sesama
manusia (pawongan), dan
3. dengan
alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur
keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya : pelanggaran
dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra
ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam,
kebakaran dll yang merusak palemahan, “patut diadakan pecaruan”.
Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ?
Binatang terutama adalah binatang
peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang
dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang
peliharaan. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten
caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna.
Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam. dan seterusnya…
Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai
sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam “Manawa Dharmasastra V.40”;
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu
akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan
kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan
pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk
sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan
itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu
penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk
meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat
kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
Berikut ini dijelaskan batasan-batasan yang
disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil
disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh
sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai
bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi
cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk
kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan
(daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana
seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api
takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk
tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak,
arak serta berem.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai
dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah
Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala
dan Banten Prayascita.
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang
dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di
halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari
caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup,
seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama
terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang
besar berbentuk caru.
Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan
simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi
segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan,
yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang
Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat
air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di
tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi,
sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca
mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap
Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta)
membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup
sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan
jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut
segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa
nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa
Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna
hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau
campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang
berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di
tengah-tengah.
Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata
(kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam
brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat
warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing
dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran
keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan
segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi
sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki
kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan ini selain
mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging
binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis
caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru” jenis-jenis caru
adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru
yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata
angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah
dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di
lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Baten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau
penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan
proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga
dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses
pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Tingkatan yang utama ini di
sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik
sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam “lontar
Bhama Kertih” digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan
pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana
agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun,
100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik
sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan
oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki
makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi,
maupun negara. misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali,
Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun
sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap
seratus tahun sekali.
Upacara Rsi Gana
Dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal
istilah Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu
bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati
(Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara
ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai
halangan. Namun dalam penyelenggaraan “upacara Rsi Gana” memang tidak
pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga
seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan
istilah “caru Rsi Gana”.
Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam
caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung
tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
·
Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang
lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima
jenis warna).
·
Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata
(lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
·
Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud
ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban
caru.
Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah
bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa
para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.
source: cakepane
0 komentar:
Posting Komentar