EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKorean ArabicChinese Simplified
Choose Your Language

Minggu, 13 November 2011

Mitologi Wuku (Sinta-Watugunung)

 
Berdasarkan lontar Medangkamulan diceritakan
kelahiran wuku seperti dibawah ini. Tersebutlah ada raja yang banyaknya 27
orang yaitu Raja Giriswara memerintah di Gunung Emalaya, Raja Kuladewa di
Pasutranu. Raja Talu memerintah di Winekatalu. Raja Mrebuana di Marga Wisaya.
Raja Waksaya di Bragu. Juga ada Raja Wariwisaya di Waragadiaswara. Raja
Mrikjulung memerintah di Sekar Kencana, Raja Sungsangtaya di Sagraya. Ada lagi
yang lainnya yaitu Raja Dungulan bertahta di Tanpasabda. Raja Puspita di Jena.
Raja Langkir di Langkaraya. Raja Medangsu di Medangpat. Raja Pujitwa di
Pujiwisaya. Raja Paha di Pangkurian. Raja Kruru di Ruruksa. Raja Mrangsinga
memerintah di Mrasuminggah. Raja
Tambur memerintah di Kawi. Ada lagi  Raja
Medangkusa memerintah di Kusinagara.Raja Matal memerintah di Matala. Raja Uye
di Padengenan. Raja Ijala di Wirajala. Raja Yuda di Prangwija. Raja Baliraja
memerintah di Ladikara. Raja Wiugah di Gandawiran. Raja Ringgita di Apsari.Raja
Kulawudra bertahta di Kalasumihang. Raja Sasawi di Tresawit.
 
Diceritakan lagi bernama Dang Hyang Kulagiri,
mempunyai istri dua orang, istri yang pertama namanya Dewi Sintakasih, putra
dari bhagawan Gadiswara, istri yang kedua namanya Dewi Sanjiwartia, pura Dang
Hyang Pasupati, kedua putri ini menjadi Raja di Kundadwipa.
 
Setelah lama bersuami istri, lalu Dang Hyang
Kulagiri berkata kepada istri keduanya, menyampaikan bahwa beliau segera akan
pergi ke Gunung sumeru bertapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya
baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi. Istri beliau berdua
menyetujui.
 
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah
cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintaksih
bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum
datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke
gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa).
 
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari
kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng
Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai
tanda akan melahirkan. Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan
lebar, melepaskan lelahnya sampil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang
tidak tertahan saat itu juga Desi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki.
Pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
 
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan
berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah
Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka
bersedih. Sang Dewi menghormat sambil berkata: “Ya, yang terhormat batara,
hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba
baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga
beliau datan (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”. Demikianlah
kata kedua putri itu menghormat kehadapan Dewa Brahma.
 
Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri
tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur
terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para
dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang
hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali
yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “ Karena bayimu lahir di atas batu,
aku anugrahi nama I Watugunung”. Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi
keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian gaiblah Dewa Brahma
kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka.
 
Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya
ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami
pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya mearasa kewalahan meladeni
bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Heranlah kedua
permaisuri itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu
kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya.
Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang
luar biasa itu. Sampai-sampai
merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu menuntut untuk makan.
 
Tersebutlah pada suatu hari ibuny sedang memasak
di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk
dimakan. Ibunya berkata : ”Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya
belum masak”.
 
Demikian kata ibunya tetapi sang  Watugunung tidak menghiraukan dan melahan
mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena
tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa
bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai
habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih
panas sudah dihabiskan.
 
Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak
sopan, ibunya menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul
putranya tepat di kepalanya sampai berlumjuran darah, sang Watugunung menangis
terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Ketika sakit dari lukanya sudah
agak reda Watugunung meninggalkan kraton karena saking marahnya menuju gunung
Emalaya. Dalam perjalanan
sang Watugunung berbuat seenaknya saja terual makanan, merampok terutama dalam
hal makanan, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya.
 
Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa
sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan
dari penduduk. Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dankeamanan penduduk. 
Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi
tingkah polah anak itu, akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara.
Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu
juga memerintahkan rakyatnya untuk membunuh Watugunung.
 
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan
kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul
dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut yang kesemuanya
tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh
senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun tidak ada
yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan mengobrak-abrik
yang menyerangnya, mengahancurkan kelompok penyerang yang hebat itu.
 
Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari
terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja
sangat marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung. Raja
Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan
yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding
antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam
peperangan itu. Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada
akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja
Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan
kerajaan Emalaya sampai di sini.
 
Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan serangan
mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena
serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka
terjadilah pertempuran yang tidak kurang dasyatnya dengan pertempuran di
kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung
yang hebat itu. Akhirnya mereka lari tunggang langgang meneyelamatkan jiwanya
masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk
kepada Watugunung.
 
Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada
raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja
Sunsang dan yang lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Keseluruhan dari 
kerajaan yang dikalahkan
berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua  
Rajanya tunduk kepada sang Watugunung. Tak
ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya menjadi jajahan sang Watugunung.
 
Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di
kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung
memerintah daerah jajahannya.
 
Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan
kepada raja-raja taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang
hebat lagi yang belum aku tundukkan?”. para raja pun menjawab ” Daulat tuanku
maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku
tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara
Kundadwipa yang sangat diagungkanoleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku 
dapat mengalahkannya kedua
raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja. Demikianlah
jawaban dari raja-raja yang didengar keterangannya. Dan raja Girisila
membenarkan.
 
Setelah mendengar keterangan dari  para raja itu, maharaja Girisila
memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan
persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa. Rencana ini didengar oleh
kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk
menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula dengan
persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran yang sengit,
seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai. Sama-sama perwira
sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah pantang mundur. Korban dari 
kedua belah pihak makin banak,
korban jiwa korban harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung
yang menderita kekalahan adalah di pihak Kundadwipa.Maka kedua raja perempuan 
itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah
ibunya sendiri.
 
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang
Watugunung menyuruh kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, 
hujan
dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di
langit. Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang
bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap dewa Siwa. ”Haturnya
yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat
seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai
dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak
benar berlaku seperti binatang”. Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa
Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada(Rsi Priarana)
supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang
dasyat ini. Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia
di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua
istrinya. Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka. Melaporkan
kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa kami datang
dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami lakukan dengan sangat
teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat yang tidak memenuhi tata
susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung mengambil kedua ibunya dipakai istri
(dipakai permasuri). Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh
manusia”.
 
Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu Sang
Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang ditujukan kepada
sang Watugunung, sabda beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati
dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila
itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu
kandung), mengambil ”babu sodaran,, mengambil tumin temen, kewaulan, babu
dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”. Semua
yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang
melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh
rakyat batara Yama pada alam neraka. Apabila kelak menjelma agar dalam
kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”. Demikian kutuk Sang Hyang
Tri Purusa.
 
Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung
melakukan pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas
kepala sang Watugunung yang besar itu. Saat asyiknya mencari kutu sambil
menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika melipat-lipat rambut yang kurang
teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada
kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Maka teringatlah beliau dengan
perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putrany dengan sodo (siut)
sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam
hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang
dipakai suami adalah putranya sendiri. Karena kedua pasang tangan istrinya
menjadi agak lemas dan percakapan kecil seketika menjadi hening. Dalam
keheningan itu sang Watugunung bertanya kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda
kenapa diam seketika apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda
mengetahui hal itu”. Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa
sesak, akhirnya menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami
berdiam karena karena kami ngerempini (ngidam)”.
 
Sang Watugunung balik bertanya:
”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda idamkan katakanlah! :Kakanda yang
terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada
permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah permaisuri beliau menjawab. “Sangat
sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua
mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”. Ya kalau
demikian kanda bersedia untuk mencarinya”.
 
Sang Watugunung mulai memusatkan
pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya
tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh. Sang Watugunung turun ke
lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh Aribuana: Ah-ahih-ih apa
maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan. Sang Watugunung menjawab: “Aum Batara,
adapun kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Batara
adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Batara izinkan”.
Apa yang kau sebutkan itu memang benar” jawab Sang Hyang Wisnu.
 
Kalau memang benar hal tersebut
sekarang permintaanku adalah, jika engkau memang mencintai diriku, saya mohon
permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera” Sang
Hyang Wisnu segera menjawab”  “Oh
permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh
meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan,
senjata dan lain-lainnya”.
 
“Jika demikian halnya Dewa Wisnu
berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah
mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau
kamu berikan istrimu engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah
engkau”. Sang Watugunung sangat marah.
 
“Aum, seperti apa yang kamu katakan,
kalau aku tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”. 
 
“Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita
berperang. Apakah kamu berani? katakan” Bertambah-tambah marahlah sang
Watugunung, kata-katanya kasar. Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera
menjawab: kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak
memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak
wajar)”. 
 
Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian
pula Sang Hyang Ari, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar
mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan garangnya. Tujuh puluh yuga
lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya,
dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan,
rupanya seperti api berkobar-kobar menyala. Sang Hyang Wisnu juga memurti
(membesar wujutnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam
(suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura
itu, besar badannya. Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa,
tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati
dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
 
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badwang (Kurma),
yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Bagaikan gelombang laut yang
murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya.
Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua, apakah kiranya
yang terjadi sehingga terjadi getaran-getaran yang hebat”. Coba katakan!
 
Bhagawan Narada menjawab: ”Seperti apa yang batara
katakan, hal itu terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang tidak
wajar, tidak lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang
Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan
si Watugunung amat berdosa.
 
Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang
Watugunung dikutuk oleh Batara Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung
mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang
dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh
kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.
 
Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari
berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma
perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam
dengan cakra. Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya.
 
Berkatalah sang Watugunung: ”Ih Hyang Wisnu
sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan
henti-hentinya bermusuhan dengan diriu, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh
aku tidak akan melupakan hal ini. Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu,
tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah!
 
Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di
Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana
akan menjelma nanti?
 
Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih
Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja
Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya
meninggallah sang Watugunung. Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung
yang termuat dalam lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b.
 
Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat
dalam majalah Bhagawanagara, disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan
dengan jalan cerita yang agak berbeda seperti di bawah ini.
 
Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta permaisuri sang Hyang
Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang
Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari. Setelah surat itu
dibawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang Watugunung untuk
bertempur.
 
Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang
mengakibatkan sang Watugunung menjadi marah, segera memerintahkan memukul
kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke
surga. Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua
pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan
Watugunung.
 
Diceritakan sang Watugunung sedang berada ditempat
tidur disertai oleh kedua orang permaisurinya.Istri sang Watugunung menanyakan
kejadian peperangan yang telah terjadi dan juga menanyakan hal tersebut sang
Watugunung berkata: ”Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain
(awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para dewa,
bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia.
 
Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang
sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah
yang dapat membunuh diriku”. Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan
Lumanglah yang sedang dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang
segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan
Watugunung.
 
Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga),
Dewa Wisnu sudah berwujud kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang
dan sangat kuat, segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung. Saat
itu adalah Radite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang
Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). Itulah
sebabnya disebut”Watugunung mati terbunuh oleh Batara Wisnu, hari kematiannya
ini dinamai ”Candung Watang”.
 
Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya
mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari
”paid-paidan”. Hari Buda Pon datanglah Bhagawan Buda, sang Watugunung
dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh
Batara Wisnu, hari itu disebut Buda Urip.
 
Hari Wraspati datanglah Bhagawan Wraspati dengan
rasa kasihan benar kepada sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi
sebentar, kemudian dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
Pada hari Jumat Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan
turunlah beliau untuk menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya disebut
dengan Pangredanan.
 
Saat itu datanglah Batara Wisnu hendak membunuhnya
kembali namun dapat dicegah oleh Batara Siwa, sabdanya: ”Hai anakku, janganlah 
hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah
untuk hari-hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan
atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Batara Wisnu, sabdanya: ”Yang
Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan
memperistri ibunya sendiri”. Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah
bersuami dan memperistri ibunya sendiri”. Batara Wisnu pun mengutuk sang
Watugunung, sabdanya: ”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh). Jawaban sang
Watugunung: ”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba
jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari
panas terik, agar hamba tidak kedinginan. Permohonan sang Watugunung semua
dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban
dalam pertempuran itu dihidupkan kembali.
 
Kiranya cerita yang serupa dengan ini juga ada di
daerah lain atau negara lain. Di Sunda (jawa barat) juga ada mitologi seperti
mitologi Watugunung di atas, yang dinamai Sangkuriang.
 
Demikian pula di Yunani juga ada yang disebut
mitologi Oedipus. Pokok isi dari mitologi itu adalah karena tidak tau sang
Watugunung, Sangkuriang, Oedipus memperistri ibunya sendiri, tetapi di sana-
sini ada perbedaan yang menunjukkan kepribadian bangsa dan sesuai dengan
tempatnya mitologi itu berkembang.
 
source: hindu-dharma