EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKorean ArabicChinese Simplified
Choose Your Language

Minggu, 02 Oktober 2011

Pan Balang Tamak


Cerita 
Pan Balang Tamak 

Merupakan cerita yang sedikit berbau jenaka dan mengandung nilai-nilai luhur dalam pergaulan hidup di Bali mengenai tatanan masyarakat sebagai makhluk social. Di Bali sendiri tatanan 
masyarakat diatur dalam adat yang terkandung menjadi satu wadah yaitu Desa Pekraman. Pada Desa Pekraman sendiri kemudian dibagi lagi dalam kelompok-kelompok masyarakat yaitu, Banjar. Dibawah Banjar ada lagi namanya Tempek. Tempek akan terwujud jika anggota Banjar melebihi kapasitas dari control perangkat Banjar atau rumah-rumah tiap kepala keluarga terlalu jauh dari Banjar. Setiap kelompok masyarakat baik Banjar maupun Tempek memliki seorang kepala yang dinamakan ‘Kelihan’ dan dengan perkembangan waktu terjadi perubahan fonem dalam pengucapan sebuatan ini sehingga menjadi ‘Kelian’. ‘Kelian’ berarti yang tertua (Kelih) yang memliki filosofi menjadi terdepat dan pemimipin dalam sebuah kelompok. Dalam tatan social ber-Banjar di Bali tentu sangat memliki tantangan dalam mengatur sekian kepal keluarga dengan segudang 
aturan adat yang menumpuk. Sehingga untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab sebagai makhlu social terciptalah cerita pergaulan Pan Balang tamak

Cerita Pan Balang Tamak dapat dikupas dalam Tarot Bali ini karena memliki nilai yang bisa dijabarkan sebagai kombinasi ritual dan adat. Pan Balang Tamak secara harfiah dapat dijabarkan dari 
kata : Pan yang berarti Bapa atau Bapak. Balang diambil dari filosofi Belalang atau di Bali disebut Balang yang memliki makna cekatan dan cerdik seperti Belalang. 
Tamak berarti rakus atau sifat negative yang lebih mementingkan ke-egoisan sendiri. Ceritanya dikupas kembali sebagai berikut, 
Diceritakan di Bali hiduplah seorang yang bernama Pan Balang Tamak. Suatu ketika di banjar diadakan kerja bakti membersihkan banjar karena banjar akan dipakai sebagai tempat upacara adat. Arah-arahan dari Kelihan (Kelian) pada masyarakat adalah : “Kepada para kepala keluarga diharapkan hadir ke Bale Banjar besok pagi ketika ‘siap’ (ayam) sudah turun dari ‘bembengannya’ (tempat keraman ayam dari jerami atau alang-alang bentuknya bundar dan diwadahi ‘kise’ yang terbuat dari ‘slepan’/daun janur yang sudah tua yang berwarna hijau tua) (karena akan diadakan pembersihan di areal banjar untuk keperluan upacara adat. Diharapkan masyrakat untuk membawa alat-alat kebersihan seperti ‘taah’ (cangkul kecil), ‘arit’ (sabit) atau ‘sampat’ (sapu). Jika tidak membawa akan dikenakan denda sebesar ‘limang gobang’ (lima gobang, gobang merupakan mata uang Bali pada masa kerajaan Bali Kuna)”. Demikian arah-arahan dari kelian kepada krama (masyarakat banjar). Mendengar arah-arahan demikian Pan Balang Tamak kalang kabut karena dia sama sekali tidak memliki alat-alat pembersihan. Maka munculah akal cerdik dari Sang Pan Balang Tamak. Pada malam hari ke Bale Banjar untuk menaruh ‘jaje uli selem’ (jajanan tepung ketan hitam) ‘dikepel-kepel’ (digenggam) dibentuk seperti tahi anjing dan dicipratkan sedikit air. Setelah mengerjakan idenya itu maka pulanglag dia menuju rumah sembari menunggu keesokan harinya. 

Keesokan harinya ketika ayam sudah turun dari keramannya Sang Pan Balang Tamak pun ‘tedun’ (turun) ke Banjar untuk melaksanakan arah-arahan kelian. Sampai disana para krama sudah bersiap-siap untuk melakukan kegiatan pembersihan lengkap dengan arah-arahan membawa alat-alat pembersihan. Namun krama sempat tekaget-kaget karena bale banjar sangat banyak tahi anjing berserakan. Namun Sang Pan Balang Tamak dengan gagahnya dia datang dengan tangan kosong. Keadaan ini membuat Sang Kelian Banjar geram dan bertanya : “Mengapa kamu tidak membawa alat pembersihan Pan”?? Pan Balang Tamak pun menyahut : “Maaf jero saya tidak membawa alat, tapi saya punya tawaran jika saya bisa membersihkan tahi ini saya harap saya tidak dikenakan Denda dan dapat bayaran uang limang gobang”. Kemudian Pan Balang Tamak melakukan arah-arahan : “ Barang siapa yang bisa memakan tahi ini akan saya kasi uang limang gobang dua kali lipat, tapi jika saya bisa memakan ini semua krama yang ada sekarang memberi saya uang lima gobang dan bebas denda”. Mendengar hal demikian membuat semua krama geli akan arahan tersebut dan tidak bersedia untuk melakukannya. Tapi Pan Balang Tamak dengan mudahnya dia memakan kotoran ‘jadi-jadiannya’ . Akhirnya terpaksa krama banjar mebayar dia. Kena sudah tipu daya krama banjar tahap satu oleh Pan Balang Tamak

Pada suatu ketika di bulan berburu ada amanat dari kerjaan oleh raja Anak Agung bahwa banjar Pan Balng Tamak mendapat giliran ‘meboros’ (berburu). Maka segeralah kelian banjar melakukan arah-arahan kepada kramanya : “Besok setelah turun ayam dari keraman diharapkan krama berkumpul di bale banjar dengan membawa anjing galak untuk berburu ke ‘alase’ (hutan)”. 
Keesokan harinya, Pan Balang Tamak sudah bangun pagi-pagi akan tetapi ayamnya belum turun dari keraman. Sampai sore hari barulah ayamnya turun dari keraman. Bergegaslah ia dan anjingnya yang kurus kering berburu menyusul krama yang sudah mendahului dari pagi berburu. Setelah sampai di hutan para krama sudah mau bergegas pulang dengan hasil buruan masing-masing seperti ‘kidang’ (kijang), ‘celeng alas’ (babi hutan). Melihat Pan Balang Tamak baru saja datang, kelian banjar langsung mengeluarkan buku denda untuk mencatat Sang Pan Balang Tamak. Tapi, Pan Balang Tamak berontak dan berkata : “Tunggu dulu jero, saya kan tidak ada salah mengapa didenda??” Kemarin kan arah arahan dari kelian harus datang pas ayam turun dari keraman dan ayam saya turun baru sore tadi. Jadi saya tidak salah kan???”. Mendengar hal itu Sang Kelian Banjar menyahut membalas “Iah memang benar demikia tapi km tidak membawa anjing yang galak untuk ‘meboros’. Sehingga km harus didenda karena hanya membawa anjing kurus kering.” Kemudian Pan Balng Tamak menyangkal : “Eittt,,,,,eittt tunggu dulu Jero, tiang malah membawa anjing yang paling galak di desa kita”. Lihatlah saudara-saudara sapa yang berani anjingnya di buang ke ‘dui nget-nget’ (phon berduri sejenis kaktus liar)”. Mendengar celoteh itu tentu para krama termasuk kelian tidak tega anjingnya ditaruh disana. Dan tanpa pikir panjang, Sang Pan Balang Tamak membuang anjing disana dan seketika itu juga anjingnya meraung keras dengan lolongan anjingnya. Hal demikian berarti anjingnya galak dan Pan Balang Tamak pun tidak dikenai denda sepeserpun. Kembali krama banjar dikelabui oleh akal bulus Sang Pan Balang Tamak
Cerita kecurangan Pan Balang Tamak dalam bermasyarakat terdengar sampai di telinga Anake Agung (raja kala 
itu). Dan membuat sang raja panas hati. Seketika itu saja Sang Raja mengutus Sang Kelian dan perangkatnya untuk berembuk dan menyusun 
strategi untuk menyingkirkan Pan Balang Tamak. Terdapatlah ide dari raja yaitu dengan meracuni Sang Pan Balang Tamak pada pesta istana. 
Singkat cerita Sang Pan Balang Tamak beserta perangkat banjar diundang makan ke istana Anake Agung. Disana makanan terlezat di sejagat Bali dihidangkan membuat Sang Pan Balang Tamak kelaparan dan bernafsu. Maka dimulailah santap makan. Setelah selesai makan dan bercakap-cakap dengan raja, baru Sang Pan Balng Tamak menyadari ada yang ganjil kenapa saya diundang makan pada hari yang tidak ada special. Ternyata setelah dipikir kemungkinan saya diracun. Setelah selesai makan dan santap saji, maka Sang Pan Balang Tamak pun berpamitan pulang. Sesampai diruma, Sang Pan Balang Tamak berpesan pada istrinya : “Istriku,,, aku tidak lama lagi akan meninggal karena diracun di istana. Aku mohon setelah aku meninggal tolong mayatku jangan dikubur dulu, cukup dimandikan dan dirias dengan kain putih seperti busana pemangku yang serba putih lengkap dengan genta dan taruh aku di “Palinggih Hyang Guru di Sanggah’ (Bagian dari Sanggah=Pura lingkup kecil untuk memuja leluhur) dalam posisi duduk bersila dan diatasku tolong diikat ‘tabuan 
simbar’ (lebah hitam). Kemudian setelah satu hari dan menjelang sore tempatkan aku dalam peti dan taruh di kamarku. Dan pada malam itu tolong jangan km bangun atau berkeliaran dirumah baik didalam maupun halaman”. Demikianlah hal yang diucapakan Pan Balang Tamak kepada istrinya. Dan ternyata sesaat kemudian Sang Pan Balang Tamak perutnya sakit dan meninggal seketika. Mulailah amanat sang suami dijalankan oleh istrinya. Keesokan harinya krama banjar tersentak kaget kenapa Sang Pan Balang Tamak tidak meninggal juga dan malah menjadi suci dengan mengucapakan ‘Weda Mantram’ di Sanggah. Padahal jika dilihat seksama ucapan Weda Mantram tersebut hanyalah bunyi sayap ‘tabuan simbar’ yang digantung diatas kepalanya. Melihat hal itu, kelian banjar segera melapor pada Anake Agung bahwa Pan Balang Tamak masih hidup. Mendengar laporan tersebut membuat sang raja kaget, dan berucap : “Kenapa dia 
masih hidup padahal ‘cetik’ (racun) yang kukasi dalam makanannya adalah yang paling hebat???”. Tanpa pikir panjang sang baginda raja mencoba racunnya sendiri, dan apa daya ternyata seketika itu juga meninggal akibat rasa penasarannya yang kurang ‘wiweka’ (sikap hati-hati dan mawas diri). Kontan kematian Sang Raja menyebar kepelosok Bali akibat cetiknya sendiri. Inilah tipu daya Sang Pan Balng Tamak meskipun sudah meninggal masih bisa membalaskan dendamnya kepada sang raja secara tidak langsung. 
Kembali kerumah Sang Pan Balang Tamak, setelah hari menjelang sore mayatnya dipindahkan dari Sanggah ke peti oleh istrinya dan ditaruh di kamarnya. Malam harinya, rumah Sang Pan Balang Tamak disatroni oleh dua maling. Mereka mengendap-ngendap menuju kamar Sang 
Pan Balang Tamak. Disana dlihatlah peti besar dan maling itu berkata : “Wahh ,, besar sekali peti ini, mungkin ini peti harta karun Sang Pan Balang Tamak mari kita angkut!!!” Bergegaslah para maling untuk membawa peti itu. Dengan tergopoh-gopoh para kedua maling itu kaget kenapa kog peti ini berat sekali ,? Mungkin isinya banyak potongan emas batangan dan uang gobang itu piker mereka. Tanpa berfikir lagi disikatlah peti tersebut dan sampai di Pura Dalem Desa mereka berhenti. “Kog ada bau busuk yagh??’ Tanya salah satu maling ke temannya” Aku tak tahu mungkin ada bangkai ayam mungkin”. “Disini saja kita buka peti ini, tak mungkin ada orang semalam ini ke Pura Dalem yang gelap seperti ini dan hasilnya kita bagi dua”. Sahut maling kesalah satu temannya. 
Setelah sampai di palinggih Pura Dalem mereka kemudian membuka peti tersebut dan dengan sontak kedua maling tersebut berteriak : “…….Pan Balang Tamak mayatnya…….”!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 
Seketika itu juga para maling lari terbirit-birit ketakutan dan dibiarkanlah peti itu tertutup lagi dan ditinggalkan tanpa sengaja oleh para maling tersbut. Keesokan paginya yang cerah di Pura Dalem dengan hawa digin yang sejuk dan bunyi burung-burung berkicau indah meramaikan Susana pagi itu. Datanglah sang pemangku pengempon Pura 
Dalem tersebut untuk melakukan ‘penyapuhan’ (pembersihan halaman pura) dan ‘surya sewana’ (pemujaan bagi para penedeta Hindu di pagi hari yang ditujukan kepada Dewa Surya). Setelah sampai di ’jeroan’ Pura, sanag pemangku kaget karena ada peti besar di palinggig Ida Bhatara Dalem. 
Sontak sang pemangku berteriak “Ida Betara Turun Kabeh”!!!! (Sang Dewa/Tuhan Turun Ke Bumi). Kemudian sang pemangku melapor ke kelian banjar, seketika itu juga seluruh karama banjar di desa tersebut berduyun-duyun ke Pura Dalem untuk melakuakn persembahnyangan. Sampai disana para krama menutup hidung karena areal Pura Dalem dipenuhi dengan bau busuk. Sambil mentup hidung para krama dan pemangku melakukan pengastawa panca sembah. Selesai melakukan pancasembah sampai ‘nunas’ (minta anugerah) ‘tirtha’ (air suci). Kemudian dibukalah peti tersebut apa isinya. Dan semua kaget karena isi peti adalah mayat Sang 
Pan Balang Tamak yang tiada lain dalah salah satu krama dari mereka yang ‘medaya corah’ (licik) semasa hidupnya hingga matipun masih bisa mengelabui masyarakat banjar dan desa. Atas usul pemangkuke perangkat banjar sebaiknya mayatnya dikubur saja. Seketika hari itu juga mayatnya dikubur. 
Pan Balang Tamak Pan Balang Tamak dari hidup samapi matipun kamu masih bisa berbuat ‘daya’ kepada masyarakat” 
Ckckckckckckckckck….. Sahut salah satu dari mereka. 
Hikmah dari cerita ini adalah hendaknya kita sebagai masyarakat Bali senantiasa melakukan kebaikan dan jujur dalam bermasyrakat dan tidak licik sebagai makhluk social.