Cerita
Pan Balang Tamak
Merupakan cerita
yang sedikit berbau jenaka dan mengandung nilai-nilai luhur dalam pergaulan
hidup di Bali mengenai tatanan masyarakat sebagai makhluk social. Di Bali
sendiri tatanan
masyarakat diatur dalam adat yang terkandung
menjadi satu wadah yaitu Desa Pekraman. Pada Desa Pekraman sendiri kemudian
dibagi lagi dalam kelompok-kelompok masyarakat yaitu, Banjar. Dibawah Banjar
ada lagi namanya Tempek. Tempek akan terwujud jika anggota Banjar melebihi
kapasitas dari control perangkat Banjar atau rumah-rumah tiap kepala keluarga
terlalu jauh dari Banjar. Setiap kelompok masyarakat baik Banjar maupun Tempek
memliki seorang kepala yang dinamakan ‘Kelihan’ dan dengan perkembangan waktu
terjadi perubahan fonem dalam pengucapan sebuatan ini sehingga menjadi
‘Kelian’. ‘Kelian’ berarti yang tertua (Kelih) yang memliki filosofi menjadi
terdepat dan pemimipin dalam sebuah kelompok. Dalam tatan social ber-Banjar di
Bali tentu sangat memliki tantangan dalam mengatur sekian kepal keluarga dengan
segudang
aturan adat yang menumpuk. Sehingga untuk
menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab sebagai makhlu social
terciptalah cerita pergaulan Pan Balang tamak.
Cerita Pan Balang Tamak dapat dikupas dalam Tarot Bali
ini karena memliki nilai yang bisa dijabarkan sebagai kombinasi ritual dan
adat. Pan Balang Tamak secara
harfiah dapat dijabarkan dari
kata : Pan
yang berarti Bapa atau Bapak. Balang diambil
dari filosofi Belalang atau di Bali disebut Balang yang
memliki makna cekatan dan cerdik seperti Belalang.
Tamak
berarti rakus atau sifat negative yang lebih mementingkan ke-egoisan sendiri. Ceritanya dikupas kembali sebagai
berikut,
Diceritakan di Bali hiduplah seorang yang bernama
Pan Balang Tamak. Suatu ketika di banjar diadakan
kerja bakti membersihkan banjar karena banjar akan dipakai sebagai tempat
upacara adat. Arah-arahan dari Kelihan (Kelian) pada masyarakat adalah :
“Kepada para kepala keluarga diharapkan hadir ke Bale Banjar besok pagi ketika
‘siap’ (ayam) sudah turun dari ‘bembengannya’ (tempat keraman ayam dari jerami
atau alang-alang bentuknya bundar dan diwadahi ‘kise’ yang terbuat dari
‘slepan’/daun janur yang sudah tua yang berwarna hijau tua) (karena akan diadakan
pembersihan di areal banjar untuk keperluan upacara adat. Diharapkan masyrakat
untuk membawa alat-alat kebersihan seperti ‘taah’ (cangkul kecil), ‘arit’
(sabit) atau ‘sampat’ (sapu). Jika tidak membawa akan dikenakan denda sebesar
‘limang gobang’ (lima gobang, gobang merupakan mata uang Bali pada masa
kerajaan Bali Kuna)”. Demikian arah-arahan dari kelian kepada krama (masyarakat
banjar). Mendengar arah-arahan demikian Pan Balang Tamak
kalang kabut karena dia sama sekali tidak memliki alat-alat pembersihan. Maka
munculah akal cerdik dari Sang Pan
Balang Tamak.
Pada malam hari ke Bale Banjar untuk menaruh ‘jaje uli selem’ (jajanan tepung
ketan hitam) ‘dikepel-kepel’ (digenggam) dibentuk seperti tahi anjing dan
dicipratkan sedikit air. Setelah mengerjakan idenya itu maka pulanglag dia
menuju rumah sembari menunggu keesokan harinya.
Keesokan harinya ketika ayam sudah turun
dari keramannya Sang Pan Balang Tamak pun
‘tedun’ (turun) ke Banjar untuk melaksanakan arah-arahan kelian. Sampai
disana para krama sudah bersiap-siap untuk melakukan kegiatan pembersihan
lengkap dengan arah-arahan membawa alat-alat pembersihan. Namun krama
sempat tekaget-kaget karena bale banjar sangat banyak tahi anjing
berserakan. Namun Sang Pan Balang Tamak dengan
gagahnya dia datang dengan tangan kosong. Keadaan ini membuat Sang Kelian
Banjar geram dan bertanya : “Mengapa kamu tidak membawa alat pembersihan Pan”?? Pan Balang Tamak pun
menyahut : “Maaf jero saya tidak membawa alat, tapi saya punya tawaran
jika saya bisa membersihkan tahi ini saya harap saya tidak dikenakan Denda
dan dapat bayaran uang limang gobang”. Kemudian Pan Balang Tamak melakukan arah-arahan : “
Barang siapa yang bisa memakan tahi ini akan saya kasi uang limang gobang
dua kali lipat, tapi jika saya bisa memakan ini semua krama yang ada
sekarang memberi saya uang lima gobang dan bebas denda”. Mendengar hal
demikian membuat semua krama geli akan arahan tersebut dan tidak bersedia
untuk melakukannya. Tapi Pan Balang Tamak dengan
mudahnya dia memakan kotoran ‘jadi-jadiannya’ . Akhirnya terpaksa krama
banjar mebayar dia. Kena sudah tipu daya krama banjar tahap satu oleh Pan Balang Tamak.
Pada suatu ketika di bulan berburu ada amanat
dari kerjaan oleh raja Anak Agung bahwa banjar Pan Balng Tamak mendapat giliran ‘meboros’
(berburu). Maka segeralah kelian banjar melakukan arah-arahan kepada kramanya :
“Besok setelah turun ayam dari keraman diharapkan krama berkumpul di bale
banjar dengan membawa anjing galak untuk berburu ke ‘alase’ (hutan)”.
Keesokan harinya, Pan Balang Tamak
sudah bangun pagi-pagi akan tetapi ayamnya belum turun dari keraman. Sampai
sore hari barulah ayamnya turun dari keraman. Bergegaslah ia dan
anjingnya yang kurus kering berburu menyusul krama yang sudah mendahului
dari pagi berburu. Setelah sampai di hutan para krama sudah mau
bergegas pulang dengan hasil buruan masing-masing seperti ‘kidang’
(kijang), ‘celeng alas’ (babi hutan). Melihat Pan Balang Tamak baru
saja datang, kelian banjar langsung mengeluarkan buku denda untuk mencatat
Sang Pan Balang Tamak. Tapi, Pan Balang Tamak berontak
dan berkata : “Tunggu dulu jero, saya kan tidak ada salah mengapa
didenda??” Kemarin kan arah arahan dari kelian harus datang pas ayam turun
dari keraman dan ayam saya turun baru sore tadi. Jadi saya tidak salah
kan???”. Mendengar hal itu Sang Kelian Banjar menyahut membalas “Iah
memang benar demikia tapi km tidak membawa anjing yang galak untuk
‘meboros’. Sehingga km harus didenda karena hanya membawa anjing kurus
kering.” Kemudian Pan Balng Tamak menyangkal
: “Eittt,,,,,eittt tunggu dulu Jero, tiang malah membawa anjing yang
paling galak di desa kita”. Lihatlah saudara-saudara sapa yang berani
anjingnya di buang ke ‘dui nget-nget’ (phon berduri sejenis kaktus liar)”.
Mendengar celoteh itu tentu para krama termasuk kelian tidak tega
anjingnya ditaruh disana. Dan tanpa pikir panjang,
Sang Pan Balang Tamak membuang
anjing disana dan seketika itu juga anjingnya meraung keras dengan lolongan
anjingnya. Hal demikian berarti anjingnya galak dan Pan Balang Tamak pun tidak dikenai denda
sepeserpun. Kembali krama banjar dikelabui oleh akal bulus Sang Pan Balang Tamak.
Cerita kecurangan Pan Balang Tamak dalam bermasyarakat terdengar
sampai di telinga Anake Agung (raja kala
itu). Dan membuat sang raja panas hati. Seketika itu saja Sang
Raja mengutus Sang Kelian dan perangkatnya untuk berembuk dan
menyusun
strategi untuk menyingkirkan Pan Balang Tamak. Terdapatlah ide dari raja
yaitu dengan meracuni Sang Pan Balang Tamak pada
pesta istana.
Singkat cerita Sang Pan Balang Tamak beserta perangkat banjar
diundang makan ke istana Anake Agung. Disana makanan terlezat di sejagat
Bali dihidangkan membuat Sang Pan Balang Tamak kelaparan
dan bernafsu. Maka dimulailah santap makan. Setelah selesai makan dan
bercakap-cakap dengan raja, baru Sang Pan Balng Tamak menyadari ada yang ganjil
kenapa saya diundang makan pada hari yang tidak ada special. Ternyata
setelah dipikir kemungkinan saya diracun. Setelah selesai makan dan
santap saji, maka Sang Pan Balang Tamak pun
berpamitan pulang. Sesampai diruma, Sang Pan Balang Tamak berpesan
pada istrinya : “Istriku,,, aku tidak lama lagi akan meninggal karena
diracun di istana. Aku mohon setelah aku meninggal tolong mayatku jangan
dikubur dulu, cukup dimandikan dan dirias dengan kain putih seperti busana
pemangku yang serba putih lengkap dengan genta dan taruh aku di “Palinggih
Hyang Guru di Sanggah’ (Bagian dari Sanggah=Pura lingkup kecil untuk
memuja leluhur) dalam posisi duduk bersila dan diatasku tolong diikat
‘tabuan
simbar’ (lebah hitam). Kemudian setelah satu hari
dan menjelang sore tempatkan aku dalam peti dan taruh di kamarku. Dan pada
malam itu tolong jangan km bangun atau berkeliaran dirumah baik didalam
maupun halaman”. Demikianlah hal yang diucapakan Pan Balang Tamak kepada istrinya. Dan
ternyata sesaat kemudian Sang Pan Balang Tamak perutnya sakit
dan meninggal seketika. Mulailah amanat sang suami dijalankan oleh
istrinya. Keesokan harinya krama banjar tersentak kaget kenapa Sang Pan Balang Tamak tidak meninggal juga dan
malah menjadi suci dengan mengucapakan ‘Weda Mantram’ di Sanggah. Padahal
jika dilihat seksama ucapan Weda Mantram tersebut hanyalah bunyi sayap
‘tabuan simbar’ yang digantung diatas kepalanya. Melihat hal itu, kelian
banjar segera melapor pada Anake Agung bahwa Pan Balang Tamak masih
hidup. Mendengar laporan tersebut membuat sang raja kaget, dan
berucap : “Kenapa dia
masih hidup padahal ‘cetik’ (racun) yang kukasi
dalam makanannya adalah yang paling hebat???”. Tanpa pikir panjang sang baginda raja
mencoba racunnya sendiri, dan apa daya ternyata seketika itu juga
meninggal akibat rasa penasarannya yang kurang ‘wiweka’ (sikap hati-hati
dan mawas diri). Kontan kematian Sang Raja menyebar kepelosok Bali
akibat cetiknya sendiri. Inilah tipu daya Sang Pan Balng Tamak meskipun sudah meninggal
masih bisa membalaskan dendamnya kepada sang raja secara tidak
langsung.
Kembali kerumah Sang Pan Balang Tamak,
setelah hari menjelang sore mayatnya dipindahkan dari Sanggah ke peti oleh
istrinya dan ditaruh di kamarnya. Malam harinya, rumah Sang Pan Balang Tamak disatroni oleh dua maling.
Mereka mengendap-ngendap menuju kamar Sang
Pan Balang Tamak. Disana dlihatlah peti besar dan
maling itu berkata : “Wahh ,, besar sekali peti ini, mungkin ini peti
harta karun Sang Pan Balang Tamak mari kita angkut!!!”
Bergegaslah para maling untuk membawa peti itu. Dengan tergopoh-gopoh para
kedua maling itu kaget kenapa kog peti ini berat sekali ,? Mungkin isinya
banyak potongan emas batangan dan uang gobang itu piker mereka. Tanpa
berfikir lagi disikatlah peti tersebut dan sampai di Pura Dalem Desa
mereka berhenti. “Kog ada bau busuk yagh??’ Tanya salah satu maling ke
temannya” Aku tak tahu mungkin ada bangkai ayam mungkin”. “Disini saja
kita buka peti ini, tak mungkin ada orang semalam ini ke Pura Dalem yang
gelap seperti ini dan hasilnya kita bagi dua”. Sahut maling kesalah satu
temannya.
Setelah sampai di palinggih Pura Dalem
mereka kemudian membuka peti tersebut dan dengan sontak kedua maling
tersebut berteriak : “…….Pan Balang Tamak mayatnya…….”!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Seketika itu juga para maling lari terbirit-birit
ketakutan dan dibiarkanlah peti itu tertutup lagi dan ditinggalkan tanpa
sengaja oleh para maling tersbut. Keesokan paginya yang cerah di Pura
Dalem dengan hawa digin yang sejuk dan bunyi burung-burung berkicau
indah meramaikan Susana pagi itu. Datanglah sang pemangku pengempon
Pura
Dalem tersebut untuk melakukan ‘penyapuhan’
(pembersihan halaman pura) dan ‘surya sewana’ (pemujaan bagi para penedeta
Hindu di pagi hari yang ditujukan kepada Dewa Surya). Setelah sampai di
’jeroan’ Pura, sanag pemangku kaget karena ada peti besar di palinggig Ida
Bhatara Dalem.
Sontak sang pemangku berteriak “Ida Betara Turun
Kabeh”!!!! (Sang Dewa/Tuhan Turun Ke Bumi). Kemudian sang pemangku melapor
ke kelian banjar, seketika itu juga seluruh karama banjar di desa
tersebut berduyun-duyun ke Pura Dalem untuk melakuakn
persembahnyangan. Sampai disana para krama menutup hidung karena
areal Pura Dalem dipenuhi dengan bau busuk. Sambil mentup hidung para
krama dan pemangku melakukan pengastawa panca sembah.
Selesai melakukan pancasembah sampai ‘nunas’
(minta anugerah) ‘tirtha’ (air suci). Kemudian dibukalah peti tersebut apa
isinya. Dan semua kaget karena isi peti adalah mayat Sang
Pan Balang Tamak yang tiada lain dalah salah
satu krama dari mereka yang ‘medaya corah’ (licik) semasa hidupnya hingga
matipun masih bisa mengelabui masyarakat banjar dan desa. Atas usul
pemangkuke perangkat banjar sebaiknya mayatnya dikubur saja. Seketika hari
itu juga mayatnya dikubur.
“Pan Balang Tamak Pan Balang Tamak dari hidup samapi matipun
kamu masih bisa berbuat ‘daya’ kepada masyarakat”
Ckckckckckckckckck….. Sahut salah satu dari
mereka.
Hikmah dari cerita ini adalah
hendaknya kita sebagai masyarakat Bali senantiasa melakukan kebaikan dan
jujur dalam bermasyrakat dan tidak licik sebagai makhluk social.
0 komentar:
Posting Komentar